Senin, 20 Juni 2011

Noz Si Peramu Wewangian


Sepertinya wewangian adalah ‘keindahan hidup’ yang berasal dari sorga karena tidak satupun agama mengasosiasasikan wewangian dengan dosa yang harus dijauhi. Bahkan sejarah memiliki catatan panjang tentang penggunaan aroma sebagai minyak urapan dalam upacara-upacara keagamaan [1] dan ada catatan bahwa sejak berabad silam, penganut Hindu di India menggunakan dupa wangi essens ittar dan argawood dalam melakukan ritual keagamaan.[2] Tidak berlebihan jika seorang peramu parfum bernama Jean Claude Ellena menyatakan parfum adalah media penghubung antara Tuhan dan manusia.[3]

Dalam kehidupan modern, wewangian yang bersifat magis bermetamorfosis menjadi komoditas dagang  bergengsi yang disebut parfum yang difungsikan untuk membangun citra diri seseorang dalam pergaulan sosial. Sebuah penelitian membuktikan bahwa aroma digunakan oleh beberapa konsumen untuk mengelola identitas mereka sendiri dan selanjutnya identitas mereka diidentifikasikan dengan Merek tertentu. [4] Karenanya tidak berlebihan ketika Paul Valery mengatakan: “A Woman who does not perfume herself has no future.”[5]

Secara pribadi, saya melihat persinggungan yang signifikant antara parfum dengan industri kekayaan intelektual di bidang hukum Merek dimulai pada tahun 1919 ketika seorang desainer mode bernama Coco Chanel meluncurkan parfum dengan Merek Chanel No.5 disusul oleh Guerlain dengan parfum Merek Shalimar pada tahun 1925 dan Jean Patsu dengan Merek Joy pada tahun1930. Masing-masing Merek parfum tersebut tetap digemari hingga kini karena memiliki keistimewaan dan kelas konsumen tersendiri. Namun Chanel No.5 sejak dilaunching  tetap menjadi pilihan terpopuler para wanita se dunia, seolah-olah Chanel No.5 menjadi a must have item para wanita. Percaya atau tidak, satu botol parfum Chanel No.5 terjual setiap tiga puluh detik diseluruh dunia setiap hari.[6]

Sekarang sudah banyak parfum merek terkenal yang menjadi mesin pencetak uang seperti Dunhill For Man dari Alferd Dunhill, Youth Dew dari Estee Lauder, Opium dari Yves St.Lauren (YSL), Declaration dari Cartier, Bazar Femme dari Christian Lacroix, Un Jardin en Mediterranae maupun Un Jardin Sur le Nil milik Hermes. Kesemuanya secara misterius memiliki ikatan emosional dengan para konsumennya yang fanatik menampilkan citra diri mereka melalui Merek parfum yang dipakainya. Namun pernahkan ada yang tahu siapa aktor intelektual dibalik keharuman dan kepopuleran sebuah parfum dari merek terkenal tersebut?

            Dalam bisnis indra penciuman, ternyata Coco Chanel bukanlah aktor intelektual dari terciptanya Chanel No.5. Ia hanya mencetuskan ide tentang parfum yang diinginkannya dengan keharuman istimewa yang dapat memancarkan sisi feminimitas pemakainya: “I want everything in the perfume and abstract of flowers that would evoke the odor of woman pesannya. [7] Selanjutnya, seorang Noz (bahasa Prancis=hidung) yaitu orang yang ahli meramu wewangian bernama Ernest Beaux menerjemahkan ide Coco Chanel dengan meramu beberapa jenis ekstrak wewangian lalu mengkonfirmasikan setiap campuran pada Coco Chanel. Ahirnya, setelah beberapa kali percobaan Coco Chanel memilih ramuan yang terdiri dari 80 jenis ekstrak wewangian seperti melati, mawar, ylang-ylang, cengkeh dan sejenis daun kering dari Indonesia.[8]  Campuran wewangian tersebut kemudian dikemas dalam botol yang didesain khusus dan diproduksi secara terbatas dengan merek Chanel No.5. Parfum itu sukses, dunia menyukai harumnya dan menjadi status simbol wanita elegant and glamour. Tapi nama Ernest Beaux tidak pernah disebut-sebut atau diasosiasikan dengan parfum merek Chanel No.5.

Kisah romantis penciptaan parfum Chanel No.5 mengingatkan kita bahwa pekerjaan Noz meramu parfum pada dasarnya sama dengan seorang Pencipta yang mengekspressikan suatu ide yang biasa menjadi suatu Ciptaan yang baru. Noz si peramu sebenarnya menciptakan suatu ‘keindahan hidup’ yang baru dalam sebuah botol berisi campuran ekstrak wewangian yang diramu dengan menggunakan seluruh kemampuan intelektualnya. Kemampuan intelektual tersebut adalah imajinasinya, keahliannya dalam mengidentifikasi setiap ekstrak wewangian yang diperoleh berdasarkan pengalaman meramu, kreativitas dan cita rasa dalam menentukan setiap takaran ekstrak aroma hingga ahirnya menjadi sebuah wewangian yang istimewa yang berbeda dengan parfum yang telah ada sebelumnya. Ekstrak mawar hanyalah berbau mawar sampai ia menjadi parfum yang memiliki cerita setelah Noz mencampurnya dengan ekstrak wewangian lainnya dengan menggunakan seluruh kemampuan intelektualnya. Namun pekerjaan Noz si peramu wewangian tidak melahirkan suatu Ciptaan intelektual dan tidak juga dapat digolongkan sebagai hak intelektual.

Dalam ranah hukum Hak Cipta, Pencipta memiliki Hak Cipta atas karya kreatif intelektualnya dan juga Hak Moral yang menghubungkan namanya dengan Ciptaannya untuk selama-lamanya. Namun Hak Cipta maupun koneksi abadi dengan parfum hasil ramuannya tidak dimiliki oleh seorang Noz. Tak ada hukum yang memberinya reward seperti Hak Cipta memberi royalti kepada Pencipta atas Ciptaannya. Tidak juga memberi Hak Moral yang menghubungan Noz dengan parfum ciptaannya untuk selama-lamanya. Ide, kreativitas, daya penciuman, pengalaman dan imaginasi yang menuntun Noz meramu berbagai ekstrak wewangian untuk menciptakan sebuah komoditas dagang bernama parfum tidak digolongkan sebagai sebuah Ciptaan yang dilindungi dengan Hak Cipta.

Noz si peramu parfum tidak pernah diberi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual seperti Merek untuk parfum hasil racikannya, kecuali Jaques Guerlain yang meramu sendiri parfum Shalimar pada tahun 1925. Dalam dunia ide dan kreativitas, penghargaan terhadap Noz sang legendaris peramu parfum tidak dikenal dalam ranah hukum hak kekayaan intelektual. Dalam hukum Merek pekerjaan Noz meramu wewangian tidak melahirkan hak kekayaan intelektual dan hanyalah pekerjaan berlandaskan hubungan contract for service dimana seorang Noz dibayar untuk pekerjaan indra penciumannya. 

Dalam hukum Merek, yang dijual pada konsumen bukan ekspressi ide akan tetapi ‘tanda’ yang disandang oleh suatu produk yang memiliki kekuatan untuk membedakan produk tersebut  dengan produk lainnya yang sejenis. Parfum hanyalah sebuah wewangian biasa dalam botol yang tidak ada bedanya dengan sekumpulan parfum dalam botol lainnya. Akan tetapi dengan menggunakan tanda ‘Hermes’ dalam kemasannya, lengkap dengan warna oranye kemerahannya yang khas Hermes, parfum yang diberi nama Un Jardin Sur Le Nil menjadi berbeda dengan parfum Opium yang menyandang Merek dagang YSL.

Sedangkan seorang Noz tidak menjual parfum, ia hanya meramu wewangian karena pesanan dalam konteks bisnis. “I never know if a perfume will be a sucess. But I know what to do to not make a bad perfume” ujar Jean Claude Ellena, [10] seorang Noz yang dikontrak oleh Hermes untuk menciptakan parfum spektakuler abad ke 21 : Un Jardin en Medditerranee dan Un Jardin sur Le Nil. Meskipun Ellena yang memiliki ide ketika meramu parfum tersebut dengan thema nuansa Mediterania dan tanaman eksotik yang tumbuh disekitar tepian sungai Nil untuk mendiskripsikan wewangian yang dijual dalam botol produk dari Hermes tersebut, namun parfum tersebut tidak menjual apa-apa jika tidak dilekati dengan label Hermes.

Konsumen membeli parfum Un Jardine Sur Nil bukan karena thema eksotik yang di ciptakan Noz yang meramunya akan tetapi karena percaya pada kekuatan Hermes sebagai Merek Dagang terkenal dengan reputasi internasional. Apapun yang dijual Hermes akan dibeli oleh konsumennya yang fanatik. Dengan kata lain, konsumen sebenarnya tidak membeli parfum Un Jardin Sur Le Nil hasil ramuan Jean Claude Ellena, tapi konsumen membeli nama Hermes karena menurut Marc Gobe ”Hermes memiliki hubungan emosional yang kredible dengan konsumen.”[11]

Kisah Noz si peramu parfum dalam dunia kekayaan intelektual ini menyadarkan kita hukum Merek tidak memberi penghargaan pada aktor intelektual dibalik kekuatan suatu Merek Dagang dari suatu produk atau jasa yang telah memiliki reputasi. Tidak penting bagi konsumen siapa yang meramu parfum Chanel No.5, sama seperti tidak banyak Konsumen yang tau bahwa minuman Coca Cola yang rasanya mendunia itu diramu oleh seorang ahli farmasi bernama John Stith Pemberton. Ini merupakan sisi gelap dari hukum kekayaan intelektual yang sejatinya memberi penghargaan atas kreasi intelektual manusia dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan cara merubah sesuatu yang biasa menjadi istimewa.
*******



[1] Didalam Alkitab digambarkan bagiaman wewangian atau dupa dibakar di Bait Allah dan Yesus diurapi dengan minyak kesturi yang sangat mahal oleh seorang perempuan pada sebuah jamuan makan sebelum peristiwa penyalibannya di bukit Golgota.
[2] Ittar adalah sejenis minayk yang diekstrak dari sejenis bunga-bungaan dan kayu wangi seperti sandalwood. Setelah diekstrak dengan cara hidro atau penguapan, minyak ini sebelum digunakan dituakan dalam sebuah wadah dari kayu sandalwood selama beberapa tahun.
[3] Dana Thomas, Deluxe:How Luxury Lost Its Luster, Penguin Group, USA Inc, 2007, hal.139.
[4] Marc Gobe, Emotional Branding, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2005, hal.103.
[5] Ibid.hal.139.
[6] Ibid,.hal.144.
[7] Ibid.hal.156
[8] Ibid.Hal.146
[10] Ibid.hal.157
[11] Marc Gobe, hal.323

Senin, 06 Juni 2011

Photo : Dua Belahan Jiwa


Pada suatu masa, ditahun 1993 ada 1(satu) buku yang paling dicari oleh orang Indonesia. The most wanted book tersebut berjudul Madame D’syuga, terbitan Scholars Publishers, Tokyo seharga 4.800 yen. Pamor buku Madame D’syuga menjadi the most wanted book terdongkrak bukan saja karena dilarang beredar di Indonesia berdasarkan SK No.KEP.104/JA/II/1993 tertanggal 8 November 1993, akan tetapi karena buku tersebut kononnya berisi photo-photo tak senonoh dari Ratna Sari Dewi, salah seorang janda mendiang Soekarno, Presiden Indonesia yang pertama.

Photo Yang Menimbulkan Kontroversi
Begitu hebohnya buku berjudul Madame D’syuga sehingga Menteri Peranan Perempuan yang kala itu dijabat oleh Mien Sugandhi dalam siaran persnya meminta pemerintah melarang peredaran buku tersebut di Indonesia karena isinya dinilai sangat memalukan dan bahkan menyinggung harga diri perempuan Indonesia serta tidak menunjukkan citra Indonesia.

Pernyataan keras berupa kecaman dari seorang menteri yang notabene seorang wanita yang notabene pula membidangi urusan tetek bengeknya perempuan di negeri ini tentunya menunjukkan seriusnya masalah yang akan ditimbulkan oleh buku tersebut karena menyangkut harga diri perempuan Indonesia dan citra Indonesia pada umumnya, sehingga buku tersebut dinilai tidak pantas menginjakkan kakinya di bumi ibu pertiwi ini.

Saya sendiri belum pernah melihat secara langsung isi buku tersebut. Kononnya buku tersebut berisi photo-photo nudis maupun setengah nudis dari Ratna Sari Dewi. Terdapat pro dan kontra atas kebijakan Pemerintah yang memboikot dan melarang buku tersebut untuk diedarkan di Indonesia. Kubu yang pro, tidak melihat isi buku tersebut sebagai suatu ‘kemesuman’ atau ‘pornografi’ akan tetapi sekumpulan photo eksklusif yang sangat indah bercita rasa seni tinggi. Kubu yang pro memuji kepiawan seni lukis tubuh dari Teruko Kobayashi yang membungkus setiap lekuk tubuh Ratna Sari Dewi layaknya gaun yang indah. Photo-photo tersebut adalah hasil kolaborasi seni tingkat tinggi antara Ratna Sari Dewi yang tubuhnya dilukis oleh Teruko Kobayashi dengan kepiawan yang teruji dari photografer Hideki Fuji dalam mengabadikan setiap gerak dan ekspressi wajah Ratna Sari Dewi. Hideki Fuji sendiri adalah seorang photographer asal Jepang yang reputasinya diakui secara internasional dengan photonya berjudul Gadis Berkimono.

Tampaknya panorama keindahan seni dari kacamata yang pro pada Madame D’Syuga tersebut tidak sealiran sungai dengan sengitnya kecaman ibu menteri Mien Sugandhi yang melihat photo tersebut dari kacamata dan hati seorang perempuan Indonesia yang menilai akibat visual photo-photo tersebut telah merendahkan perempuan Indonesia. (Tampaknya Mien Sugandhi lupa kalau Ratna Sari Dewi bukan asli perempuan Indonesia). Apakah keindahan seni hanya bisa dipahami oleh mata dan hati seorang laki-laki? Pertanyaan ini tentunya masih dapat diperdebatkan kebenarannya.

Dalam perjalannya, pelarangan edar buku Madame D’Syuga memiliki rentetan kasus hukum di Indonesia. Pada tahun 1998, sebuah majalah bernama What’s on Indonesia telah memuat beberapa cuplikan photo dari buku Madame D’Syuga dalam Edisi 132 yang terbit pada tanggal 2 November 1998. Dalam pemuatan photo-photo tersebut dicantumkan Dok.Madame D’Syuga. Namun Ratna Sari Dewi merasa dirinya telah direndahkan dengan publikasi tersebut dan sebagai pemilik photo ia mengajukan tuntutan hukum terhadap Redaksi What’s On Indonesia.

Pengadilan dengan putusan tertanggal 3 Juni 2002 menghukum Warsito selaku Redaksi majalah What’s on Indonesia bersalah melanggar Pasal 44 ayat (2) UU No.12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta dan dihukum 1(satu) tahun penjara. Hakim menilai Warsito bersalah telah memperbanyak dan menyebarluaskan photo-photo Ratna Sari Dewi yang ada dalam buku Madame D’Syuga secara tanpa hak.

Photo Menurut UU Hak Cipta
Berbicara tentang hakekat sebuah photo atau potret, tampaknya hanya Oscar Wilde yang mampu menggambarkan secara tepat akan jiwa dari sebuah potret dalam karyanya berjudul ‘The Picture of Dorian Gray’s sebagai berikut:
Every potrait that is painted with feeling is a potrait of the artist, not the sitter. The sitter is merely the accident, the occassion. It is not who is revealed by the painter; it is rather the painter who on the coloured canvas, reveals himself. The reason I will not exhibit this picture is that I am afraid that I have shown it the secred of my own soul.”

Meskipun photo dianggap sebagai hasil kerja kamera yang melibatkan sedikit peran intelektual manusia, pembuatannya telah memenuhi teori penciptaan dalam ranah hukum Hak Cipta yang disebut sebagai konsep ex nihilo nihil fit atau tiada suatupun yang muncul dari ketiadaan. Artinya, suatu Ciptaan tidak mutlak harus murni berasal dari ide yang baru atau novel karena teori novelty tidak diterapkan dalam hukum Hak Cipta sebagaimana diberlakukan secara konsisten dalam perlindungan hak Paten atas suatu penemuan baru atau invensi.

Uniknya, UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta telah menempatkan photo sebagai salah satu Ciptaan di bidang seni (art) yang istimewa dibandingkan dengan Ciptaan lainnya seperti seni lukis, gambar atau lagu. Oleh karenanya, dari sudut hukum hak kekayaan intelektual, pemboikotan dan pelarangan edar buku Madame D’Syuga dinilai sebagai bentuk pengingkaran akan eksistensi photo sebagai karya intelektual manusia yang harusnya bebas dari penghakiman di luar seni dan penilaian etika moral.

Khusus untuk photo diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 UU Hak Cipta yang intinya menegaskan bahwa photo atau potret (terutama potret diri seseorang) bersifat personal. Keistimewaan lainnya adalah photo atau potret memiliki dua jiwa, yaitu jiwa dari orang yang dipohoto dan jiwa dari orang yang membuat photo tersebut. Oleh karena itu, UU Hak Cipta Indonesia membuat pemisahan antara hak kebendaan atau chattel rights atas photo ada pada orang yang diphoto, sedangkan Hak Cipta dianugrahkan pada sang pelukis atau photographer.

Pemilik photo berhak hak untuk mempertunjukkan potret atau photo tersebut di depan umum, memperbanyak potret dalam satu katalog atau mempublikasikan Ciptaan potret tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari Pencipta atau sang photografer. Sedangkan photographer selaku pemegang Hak Cipta tidak memiliki hak eksklusif mutlak atas perbanyakan dan publikasi photo tersebut seperti pemegang Hak Cipta atas Ciptaan lainnya yang memiliki hak eksklusif absolut atas Ciptaannya. Hak eksklusif dari photographer  untuk memperbanyak atau mempublikasi photo ciptaannya harus disinkronisasikan dengan kemauan atau izin dari orang yang diphoto.

Namun demikian, kewenangan penuh dari pemilik photo atau potret untuk memperbanyak atau mempublikasikan photo dirinya tanpa izin photographer tidak boleh melanggar Hak Moral dari si photografer dan karena itu nama photographer sebagai Pencipta photo senantiasa wajib dicantumkan. Si empunya photo juga memiliki kewajiban untuk memelihara Hak Moral si photografer lainnya yaitu right of integrity dan right of attribution yang memberi hak personal pada photographer untuk tetap memelihara keutuhan dari photo tersebut. Artinya, si empunya photo tidak berhak untuk merubah, memodifikasi atau meniadakan bagian-bagian tertentu dari photo tersebut.  Hal ini merupakan prinsip yang berlaku dalam teori penciptaan bahwa setiap Ciptaan adalah sempurna dan hanya Pencipta yang berhak melakukan editing maupun merubah suatu Ciptaannya. Photo tersebut adalah belahan jiwa dari sang photographer meskipun photo tersebut milik orang lain dan meskipun photographer tidak berkuasa penuh atas ciptaannya.

Meskipun digolongkan sebagai genus yang spesial dari suatu Ciptaan, keberadaan dan peredaran suatu photo kerap disamakan dengan Ciptaan lainnya seperti buku atau film. Jika publikasi suatu photo berisi pesan visual yang “berbahaya” bagi masyarakat, maka layak edarnya harus diatur dengan peraturan tersendiri. Layak edar suatu buku, Film atau photo sudah diatur di Indonesia sejak tahun 1963 dengan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum. Salah satu alasan untuk dilarang diedarkan di Indonesia adalah jika publikasi tersebut dapat merusak akhlak dan memajukan percabulan atau pornografi. Pelarangan edar buku Madame D’Syuga yang berisi photo-photo Ratna Sari Dewi tersebut berpedoman pada peraturan ini seakan-akan buku Madame D’Syuga digolongkan sebagai pornografi yang dapat merusak akhlak bangsa dan menyinggung harga diri perempuan Indonesia.

Sedangkan putusan Pengadilan dalam kasus photo Madame D’Syuga yang menghukum Redaksi Majalah What’s On Indonesia tidak ada sangkut pautnya dengan larangan edar atas buku tersebut di Indonesia. Putusan tersebut mempertegas kembali prinsip yang diatur dalam UU Hak Cipta tentang photo sebagai suatu genus istimewa dari Ciptaan yang mengandung 2(dua) jenis hak yang pelaksanaannya harus disinkronisasikan satu sama lainnya. Majalah What’s On Indonesia tidak berhak mempublikasikan photo diri Ratna Sari Dewi tanpa izin khusus dari Ratna Sari Dewi, meskipun Redaksi telah mencantumkan sumber dari photo. Penyebutan sumber dari photo saja tidak cukup untuk menghindari pelanggaran Hak Cipta. Terlebih lagi bahwa publikasi photo-photo tersebut tidak dalam konteks pemberitaan dan kalaupun menyangkut pada pemberitaan, tentunya bukan photo syuur dari buku Madame D’Syuga yang dipublikasikan.
******