Sepertinya wewangian adalah ‘keindahan hidup’ yang berasal dari sorga karena tidak satupun agama mengasosiasasikan wewangian dengan dosa yang harus dijauhi. Bahkan sejarah memiliki catatan panjang tentang penggunaan aroma sebagai minyak urapan dalam upacara-upacara keagamaan [1] dan ada catatan bahwa sejak berabad silam, penganut Hindu di India menggunakan dupa wangi essens ittar dan argawood dalam melakukan ritual keagamaan.[2] Tidak berlebihan jika seorang peramu parfum bernama Jean Claude Ellena menyatakan parfum adalah media penghubung antara Tuhan dan manusia.[3]
Dalam kehidupan modern, wewangian yang bersifat magis bermetamorfosis menjadi komoditas dagang bergengsi yang disebut parfum yang difungsikan untuk membangun citra diri seseorang dalam pergaulan sosial. Sebuah penelitian membuktikan bahwa aroma digunakan oleh beberapa konsumen untuk mengelola identitas mereka sendiri dan selanjutnya identitas mereka diidentifikasikan dengan Merek tertentu. [4] Karenanya tidak berlebihan ketika Paul Valery mengatakan: “A Woman who does not perfume herself has no future.”[5]
Secara pribadi, saya melihat persinggungan yang signifikant antara parfum dengan industri kekayaan intelektual di bidang hukum Merek dimulai pada tahun 1919 ketika seorang desainer mode bernama Coco Chanel meluncurkan parfum dengan Merek Chanel No.5 disusul oleh Guerlain dengan parfum Merek Shalimar pada tahun 1925 dan Jean Patsu dengan Merek Joy pada tahun1930. Masing-masing Merek parfum tersebut tetap digemari hingga kini karena memiliki keistimewaan dan kelas konsumen tersendiri. Namun Chanel No.5 sejak dilaunching tetap menjadi pilihan terpopuler para wanita se dunia, seolah-olah Chanel No.5 menjadi a must have item para wanita. Percaya atau tidak, satu botol parfum Chanel No.5 terjual setiap tiga puluh detik diseluruh dunia setiap hari.[6]
Sekarang sudah banyak parfum merek terkenal yang menjadi mesin pencetak uang seperti Dunhill For Man dari Alferd Dunhill, Youth Dew dari Estee Lauder, Opium dari Yves St.Lauren (YSL), Declaration dari Cartier, Bazar Femme dari Christian Lacroix, Un Jardin en Mediterranae maupun Un Jardin Sur le Nil milik Hermes. Kesemuanya secara misterius memiliki ikatan emosional dengan para konsumennya yang fanatik menampilkan citra diri mereka melalui Merek parfum yang dipakainya. Namun pernahkan ada yang tahu siapa aktor intelektual dibalik keharuman dan kepopuleran sebuah parfum dari merek terkenal tersebut?
Dalam bisnis indra penciuman, ternyata Coco Chanel bukanlah aktor intelektual dari terciptanya Chanel No.5. Ia hanya mencetuskan ide tentang parfum yang diinginkannya dengan keharuman istimewa yang dapat memancarkan sisi feminimitas pemakainya: “I want everything in the perfume and abstract of flowers that would evoke the odor of woman ”pesannya. [7] Selanjutnya, seorang Noz (bahasa Prancis=hidung) yaitu orang yang ahli meramu wewangian bernama Ernest Beaux menerjemahkan ide Coco Chanel dengan meramu beberapa jenis ekstrak wewangian lalu mengkonfirmasikan setiap campuran pada Coco Chanel. Ahirnya, setelah beberapa kali percobaan Coco Chanel memilih ramuan yang terdiri dari 80 jenis ekstrak wewangian seperti melati, mawar, ylang-ylang, cengkeh dan sejenis daun kering dari Indonesia.[8] Campuran wewangian tersebut kemudian dikemas dalam botol yang didesain khusus dan diproduksi secara terbatas dengan merek Chanel No.5. Parfum itu sukses, dunia menyukai harumnya dan menjadi status simbol wanita elegant and glamour. Tapi nama Ernest Beaux tidak pernah disebut-sebut atau diasosiasikan dengan parfum merek Chanel No.5.
Kisah romantis penciptaan parfum Chanel No.5 mengingatkan kita bahwa pekerjaan Noz meramu parfum pada dasarnya sama dengan seorang Pencipta yang mengekspressikan suatu ide yang biasa menjadi suatu Ciptaan yang baru. Noz si peramu sebenarnya menciptakan suatu ‘keindahan hidup’ yang baru dalam sebuah botol berisi campuran ekstrak wewangian yang diramu dengan menggunakan seluruh kemampuan intelektualnya. Kemampuan intelektual tersebut adalah imajinasinya, keahliannya dalam mengidentifikasi setiap ekstrak wewangian yang diperoleh berdasarkan pengalaman meramu, kreativitas dan cita rasa dalam menentukan setiap takaran ekstrak aroma hingga ahirnya menjadi sebuah wewangian yang istimewa yang berbeda dengan parfum yang telah ada sebelumnya. Ekstrak mawar hanyalah berbau mawar sampai ia menjadi parfum yang memiliki cerita setelah Noz mencampurnya dengan ekstrak wewangian lainnya dengan menggunakan seluruh kemampuan intelektualnya. Namun pekerjaan Noz si peramu wewangian tidak melahirkan suatu Ciptaan intelektual dan tidak juga dapat digolongkan sebagai hak intelektual.
Dalam ranah hukum Hak Cipta, Pencipta memiliki Hak Cipta atas karya kreatif intelektualnya dan juga Hak Moral yang menghubungkan namanya dengan Ciptaannya untuk selama-lamanya. Namun Hak Cipta maupun koneksi abadi dengan parfum hasil ramuannya tidak dimiliki oleh seorang Noz. Tak ada hukum yang memberinya reward seperti Hak Cipta memberi royalti kepada Pencipta atas Ciptaannya. Tidak juga memberi Hak Moral yang menghubungan Noz dengan parfum ciptaannya untuk selama-lamanya. Ide, kreativitas, daya penciuman, pengalaman dan imaginasi yang menuntun Noz meramu berbagai ekstrak wewangian untuk menciptakan sebuah komoditas dagang bernama parfum tidak digolongkan sebagai sebuah Ciptaan yang dilindungi dengan Hak Cipta.
Noz si peramu parfum tidak pernah diberi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual seperti Merek untuk parfum hasil racikannya, kecuali Jaques Guerlain yang meramu sendiri parfum Shalimar pada tahun 1925. Dalam dunia ide dan kreativitas, penghargaan terhadap Noz sang legendaris peramu parfum tidak dikenal dalam ranah hukum hak kekayaan intelektual. Dalam hukum Merek pekerjaan Noz meramu wewangian tidak melahirkan hak kekayaan intelektual dan hanyalah pekerjaan berlandaskan hubungan contract for service dimana seorang Noz dibayar untuk pekerjaan indra penciumannya.
Dalam hukum Merek, yang dijual pada konsumen bukan ekspressi ide akan tetapi ‘tanda’ yang disandang oleh suatu produk yang memiliki kekuatan untuk membedakan produk tersebut dengan produk lainnya yang sejenis. Parfum hanyalah sebuah wewangian biasa dalam botol yang tidak ada bedanya dengan sekumpulan parfum dalam botol lainnya. Akan tetapi dengan menggunakan tanda ‘Hermes’ dalam kemasannya, lengkap dengan warna oranye kemerahannya yang khas Hermes, parfum yang diberi nama Un Jardin Sur Le Nil menjadi berbeda dengan parfum Opium yang menyandang Merek dagang YSL.
Sedangkan seorang Noz tidak menjual parfum, ia hanya meramu wewangian karena pesanan dalam konteks bisnis. “I never know if a perfume will be a sucess. But I know what to do to not make a bad perfume” ujar Jean Claude Ellena, [10] seorang Noz yang dikontrak oleh Hermes untuk menciptakan parfum spektakuler abad ke 21 : Un Jardin en Medditerranee dan Un Jardin sur Le Nil. Meskipun Ellena yang memiliki ide ketika meramu parfum tersebut dengan thema nuansa Mediterania dan tanaman eksotik yang tumbuh disekitar tepian sungai Nil untuk mendiskripsikan wewangian yang dijual dalam botol produk dari Hermes tersebut, namun parfum tersebut tidak menjual apa-apa jika tidak dilekati dengan label Hermes.
Konsumen membeli parfum Un Jardine Sur Nil bukan karena thema eksotik yang di ciptakan Noz yang meramunya akan tetapi karena percaya pada kekuatan Hermes sebagai Merek Dagang terkenal dengan reputasi internasional. Apapun yang dijual Hermes akan dibeli oleh konsumennya yang fanatik. Dengan kata lain, konsumen sebenarnya tidak membeli parfum Un Jardin Sur Le Nil hasil ramuan Jean Claude Ellena, tapi konsumen membeli nama Hermes karena menurut Marc Gobe ”Hermes memiliki hubungan emosional yang kredible dengan konsumen.”[11]
Kisah Noz si peramu parfum dalam dunia kekayaan intelektual ini menyadarkan kita hukum Merek tidak memberi penghargaan pada aktor intelektual dibalik kekuatan suatu Merek Dagang dari suatu produk atau jasa yang telah memiliki reputasi. Tidak penting bagi konsumen siapa yang meramu parfum Chanel No.5, sama seperti tidak banyak Konsumen yang tau bahwa minuman Coca Cola yang rasanya mendunia itu diramu oleh seorang ahli farmasi bernama John Stith Pemberton. Ini merupakan sisi gelap dari hukum kekayaan intelektual yang sejatinya memberi penghargaan atas kreasi intelektual manusia dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan cara merubah sesuatu yang biasa menjadi istimewa.
*******
[1] Didalam Alkitab digambarkan bagiaman wewangian atau dupa dibakar di Bait Allah dan Yesus diurapi dengan minyak kesturi yang sangat mahal oleh seorang perempuan pada sebuah jamuan makan sebelum peristiwa penyalibannya di bukit Golgota.
[2] Ittar adalah sejenis minayk yang diekstrak dari sejenis bunga-bungaan dan kayu wangi seperti sandalwood. Setelah diekstrak dengan cara hidro atau penguapan, minyak ini sebelum digunakan dituakan dalam sebuah wadah dari kayu sandalwood selama beberapa tahun.
[3] Dana Thomas, Deluxe:How Luxury Lost Its Luster, Penguin Group, USA Inc, 2007, hal.139.
[4] Marc Gobe, Emotional Branding, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2005, hal.103.
[5] Ibid.hal.139.
[6] Ibid,.hal.144.
[7] Ibid.hal.156
[8] Ibid.Hal.146
[10] Ibid.hal.157
[11] Marc Gobe, hal.323

