Kamis, 26 Mei 2011


Menajamkan Taji Komisi Yudisial

Benny K Harman, Ketua Komisi IIIDPR RI dalam rapat Panja RUU Komisi Yudisial yang dilakukan pada tanggal 26 Mei 2011 mengusulkan agar Komisi Yudisial bisa langsung menjatuhkan sanski kepada para hakim Pengadilan Negeri dan hakim tinggi (tingkat banding). Sedangkan untuk hakim angung, dilakukan melalui prosedur Majelis Kehormatan Hakim. Alasannya sangat sederhana, “Biar kewenangan Komisi Yudisial lebih tajam.”
Ironisnya hampir seluruh fraksi di Panja RUU Komisi Yudisial menyetujui 'ide cemerlang 'Benny K Harman ini dan hanya Fraksi Kebangkitan Bangsa yang tidak setuju akan tetapi karena perbedaan perlakuan terhadap hakim agung dengan hakim tingkat pertama dan banding tersebut. Ide ini tentunya akan mengubah substansi dari Pasal 22D dan 22E RUU Komisi Yudisial yang mengatur bahwa penjatuhan sanksi kepada hakim pelanggar kode etik diusulkan kepada Mahkamah Agung.
Kalau kita cermati kembali UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan dibandingkan dengan RUU Perubahan UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, jelas sekali ada perubahan-perubahan yang mendasar yang telah memberi kewenangan yang lebih besar dan kemandirian bertindak bagi Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya melakukan pengawasan terhadap perilaku para hakim di Indonesia.
RUU Komisi Yudisial merubah Pasal 20 dengan mempertegas 2(dua) jenis pengawasan yang dilakukan  oleh Komisi Yudisial yaitu: (1) Menjaga kehormatan hakim dengan cara merekomendasikan promosi dan mutasi hakim dan meningkatkan pendidikan kepada para hakim dan (2) Menegakkan kehormatan hakim. Tugas menjaga kehormatan hakim akan dilaksanakan dengan cara berkordinasi dengan Mahkamah Agung. Namun tugas menegakkan kehormatan hakim mutlak berada ditangan Komisi Yudisial tanpa berkordinasi dengan Mahkamah Agung. Adapun tugas menegakkan kehormatan hakim meliputi:
1)      Pengawasan terhadap perilaku hakim
2)      Memeriksa dan menyimpulkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Kemandirian Komisi Yudisial untuk melakukan tugas menegakkan kehormatan hakim ini diperkuat pula dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 RUU Komisi Yudisial yang menegaskan bahwa pengaduan terhadap pelanggaran kode etik hakim tersebut berasal dari masyarakat dan Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya. Pasal 20 dengan 22 RUU Komisi Yudisial bersinerji menyingkirkan peran Mahkamah Agung dalam mengawasi perilaku para hakim. Bahkan Mahkamah Agung maupun badan peradilan lainnya dimungkinkan untuk melaporkan hakim yang melanggar kode etik kepada Komisi Yudisial! Sedangkan pemeriksaan terhadap hakim yang dilaporkan dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial tanpa melibatkan Mahkamah Agung.  
Jika RUU Komisi Yudisial ini disetujui dan ‘ide cemerlang’ dari Benny K Harman juga diadopsi dimana Komisi Yudisial memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanski langsung kepada hakim yang telah melanggar kode etik, maka Komisi Yudisial benar-benar menjadi lembaga pengawas utama bagi hakim-hakim di Indonesia. Dominasi sebagai lembaga pengawas hakim ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan jika Komisi Yudisial tidak mencampuradukkan pengawasan ekseternal dengan pengawasan internal yang merupakan wewenang mutlak dari Mahkamah Agung. Namun ada indikasi bahwa Komisi Yudisal masih belum cukup terlatih untuk membedakan mana prilaku hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim dengan tugas hakim dalam mengadili suatu perkara.
Dalam laporan ahir periode Komisi Yudisial disebutkan bahwa kendala tugas pengawasan adalah karena Mahkamah Agung belum sepenuhnya koperatif dengan Komisi Yudisial dan adanya perbedaan sikap antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang penerapan Kode Etik yang telah disusun bersama. Komisi Yudisial dalam laporannya juga menyampaikan alibi mengapa Komisi Yudisal menggunakan putusan hakim sebagai entry untuk melakukan pemeriksaan atas laporan masyarakat dengan alasan bahwa laporan masyarakat pada umumnya berkisar tentang putusan dengan dugaan adanya:
1)      Manipulasi fakta
2)      Melanggar hukum acara
3)      Membuat pertimbangan hukum yang telah menguntungkan salah satu pihak
Jika kita cermati lebih lanjut alasan-alasan tersebut, jelas bahwa hal tersebut masuk dalam ranah hukum acara dan bukan sikap atau perilaku yang melanggar kode etik. Tentang fakta yang ditemui di persidangan adalah wewenang judex facti,  jadi jika Komisi Yudisial melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim yang menyangkut fakta-fakta, artinya Komisi Yudisal telah memeriksa kembali keterangan saksi-saksi yang didengar berikut barang bukti yang dihadirkan dan melakukan struktur ulang fakta-fakta tersebut. Jika ini terjadi, perbuatan tersebut tentunya telah merubah suatu putusan dan terjadi tindakan mengadili kembali. Padahal, Komisi Yudisal tidak memiliki kewenangan mengadili atau mengadili kembali suatu perkara.
Jika ternyata ada laporan hakim telah melanggar hukum acara, tentunya hal tersebut diperiksa dari Berita Acara Persidangan. Hukum acara yang mana yang dilanggar? Jika misalnya hukum acara yang dilanggar adalah persidangan yang harusnya tertutup dilakukan terbuka atau sebaliknya, apakah Komisi Yudisial berwenang memerintahkan agar perkara diperiksa kembali? Jika Komisi Yudisial memeriksa dan mengaudit pertimbangan hukum dalam suatu putusan untuk melihat adanya pelanggaran kode etik, apakah perbuatan tersebut tidak sama dengan mengadili kembali?
Hal-hal ini kembali membawa kita pada perenungan: benarkah Komisi Yudisial beritikad baik untuk menjaga kehormatan hakim dan menegakkan kehormatan hakim? Jika benar demikian, haruskah putusan hakim dijadikan wadah untuk memeriksa ada tidaknya pelanggaran kode etik? Tidakkah tindakan Komisi Yudisial yang ahir-ahir ini mengaudit putusan Antasari dengan memanggil dan mendengar saksi-saksi untuk memeriksa laporan bahwa hakim tidak memeriksa dan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut umum sebagai salah satu demonstrasi sempurna bahwa Komisi Yudisial sendiri telah melanggar etika hukum dan hukum acara yang menunjukkan bahwa Komisi Yudisial seolah-olah haus akan kekuasaan untuk mengadili putusan-putusan yang dilaporkan?
 Jika fenomena perilaku Komisi Yudisial ini dibenarkan, maka penerapan teori kekuasaan Montesque yang seyogyanya mengidealkan separation of power benar-benar diterapkan menjadi bagi-bagi kekuasaan di Indonesia. Semoga saja kebijakan Komisi Yudisal ini nantinya tidak menghapuskan upaya hukum banding dan kasasi ke tingkat peradilan yang lebih tinggi. Atau mungkin nantinya masyarakat pencari keadilan memiliki opsi: banding atau kasasi ke Komisi Yudisial jika tidak percaya pada badan peradilan. Dalam praktek sistem bagi-bagi kekuasaan, semuanya bisa mungkin terjadi!

Rabu, 25 Mei 2011

Menerjemahkan Hak Moral Pencipta

Pernahkah anda begitu bersemangat membeli sebuah buku terjemahan karya seorang penulis terkenal, akan tetapi setelah membaca karya terjemahan tersebut anda merasa kecewa dan berpikir, ” Wah...ternyata karya pengarang ini gak sehebat beritanya!”?
Perjalan spiritual saya ke Toko Buku Gramedia pada suatu senja berinai hujan di bulan April 2011 silam mempertemukan saya dengan sebuah buku terjemahan karya Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Love in The Time of Cholera. Terdorong oleh beberapa kajian sastra tentang karya Marquez yang pernah saya baca berikut dorongan memory dari film dengan judul yang sama yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi sebulan yang silam, saya memutuskan untuk membeli novel terjemahan dari Love In The Time of Cholera diterjemahkan menjadi Cinta Sepanjang Derita Kolera.
Terus terang, judul terjemahan tersebut sedikit mengganggu selera membaca saya. Perasaan terganggu berlanjut lebih intens lagi ketika saya mulai membaca halaman pertama. Ada beberapa paragraph terkesan diterjemahkan words by words sehingga menjadi kalimat tanpa jiwa dan kering. Ahirnya, saya berhenti membaca karya terjemahan tersebut, lalu  karya terjemahan tersebut saya simpan di laci bersama-sama dengan buku-buku lain yang tidak ingin saya baca kembali. Singkatnya, dengan membaca beberapa lembar saja, saya tidak menemukan kehebatan dari karya Gabriel Garcia Marquez dari terjemahan buku tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan gambaran di film yang sudah saya lihat sebelumnya.
Kadang-kadang, membaca karya asli dalam bahasa Inggris lebih terasa nikmat daripada membaca karya terjemahan ke bahasa Indonesia. Saya memiliki terjemahan dari karya Vincent Mahieu, seorang penulis sastra Belanda berjudul Tjis dan Tjus yang diterjemahkan oleh H.B Jassin menjadi Cis dan Cus pada tahun 1976. Begitu piawainya H.B Jassin menerjemahkan buku tersebut ke bahasa Indonesia sehingga terjemahan karya Vincent Mahieu mengalir indah dan enak dibaca. Saya juga memiliki koleksi buku terjemahan dari berbagai bahasa seperti Spanyol, bahasa Jepang, bahasa China atau Russia yang enak dibaca seperti karya Eiji Yoshikawa dalam Musahsi atau karya terjemahan maha karya penulis sastra terkenal dunia lainnya seperti Guy de Maupassant, Anton P.Chekov, Lao Hsiang, Nikolai Gogol dan sebagainya yang dengan tepat menggambarkan ciri khas kehebatan bertutur dari para sastrawan tersebut.
Pergaulan saya dengan karya terjemahan dimulai sejak kecil, ketika saya membaca terjemahan buku-buku karya Enid Blyton, Laura Inggals dan Frances Hodgson Burnett. Setelah dewasa dan saya mampu membaca dalam versi bahasa Inggris, saya mendapati sensasi yang sama dengan ketika membaca karya terjemahan dalam bahasa Indonesia dan saya dapat merasakan kehebatan bertutur penulis-penulis tersebut. Siapakah penerjemahnya? Saya bahkan tidak pernah ingat! Dalam karya terjemahan, ternyata si penerjemah kerap dilupakan oleh pembacanya karena judul buku terjemahan tetap menggunakan nama penulis yang asli. Namun ini menjadi bukti kuat, suatu  prima facie tak terbantahkan dari suatu karya terjemahan yang berhasil. Mengapa? Karena  dalam karya terjemahan yang berhasil, pembaca memperoleh sensasi yang sama dengan ketika membaca versi bahasa penulis aslinya, seolah-olah sang penerjemah dengan penulis asli novel tersebut adalah orang yang sama, hanya saja dia menceritakan kembali isi novel tersebut dengan bahasa yang berbeda.
Sesungguhnya, itulah hakekat dari karya terjemahan. Si perjemah harus dapat menceritakan ulang suatu karya orang lain dalam bahasa yang berbeda tanpa penambahan atau pengurangan yang merubah alur dan esensi cerita atau merubah ciri khas gaya bercerita si penulis asli. Dalam karya terjemahan, si penerjemah adalah the re-story teller yang berada di belakang si penulis cerita asli dan bukan si penulis cerita itu sendiri. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai suatu Ciptaan baru yang dilindungi oleh Hak Cipta sebagai reward pada karya intelektual penerjemah dalam menceritakan kembali.
Dalam bisnis penerbitan, karya terjemahan dianggap penting dilakukan sesuai dengan porsinya tanpa merubah suatu karya yang diterjemahkan. Konsep ini merupakan harga mati, suatu dalil yang tidak bisa disimpangi,  karena sesungguhnya Penerbit  menjual Ciptaan yang dimiliki oleh 2(dua) Pemegang Hak Cipta yaitu Pencipta penulis asli dan Pencipta karya terjemahan. Karena itu perlu adanya tanda authorized translate yang dicantumkan dalam karya terjemahan sebagai bentuk tanggungjawab Penerbit bahwa pihak yang telah mendapat izin resmi dari Penulis asli (the Author) untuk menjaga kesamaan mutu terjemahan dengan karya aslinya. Tanda hak untuk menerjemahkan tersebut, misalnya, dapat kita temui dalam  terjemahan buku berjudul Around The World in 80 Dinners oleh Cheryl dan Bill Jamison sebagai berikut:
Indonesian translation rights arranged through the Doe Coover Agency, Winchester, Massachussetts, USA.
Dengan adanya tanda tersebut, terjalin hubungan hukum antara penerjemah atau penerbit dengan pemegang hak cipta atas buku tersebut yang mengandung makna bahwa penerjemah berhak memperbanyak suatu Ciptaan dalam bahasa yang berbeda dan bertanggungjawab terhadap mutu terjemahan serta menjaga Hak Moral Pencipta buku aslinya.
Dari sudut UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, suatu terjemahan digolongkan sebagai Ciptaan yang baru yang dilindungi Hak Cipta dan memiliki keistimewaan sebagai berikut:
Ø  Karya terjemahan (Translated Work) dalam ranah Hak Cipta adalah karya turunan (Derivative Work) dari karya asli yang juga dilindungi Hak Cipta. Dalam suatu karya terjemahan terjadilah proses konsepsi Hak Cipta melahirkan Hak Cipta. Suatu terjemahan secara hukum dianggap sebagai karya baru dan Hak Cipta terjemahan ada pada penerjemah.
Ø  Meskipun disebut sebagai karya baru yang dilindungi Hak Cipta, suatu karya terjemahan tetap memiliki koneksi yang abadi dan tak terputuskan dengan Penulis karya yang asli. Koneksi abadi tersebut secara tegas diatur oleh Pasal 24 UU Hak Cipta yang mengatur tentang Hak Moral Pencipta.
Ø  Koneksi antara penulis karya yang asli dengan karya terjemahan dalam versi bahasa yang berbeda tidak boleh diputuskan oleh siapapun meskipun Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh pihak lain karena pengalihan Hak Cipta dengan jual beli ataupun karena hibah maupun warisan.
Ø  Koneksi penulis karya yang asli dengan karyanya diwujudkan dalam pengakuan akan Hak Moral Pencipta dengan cara mencantumkan nama penulis dan judul karya yang asli dalam karya terjemahan.

Meskipun karya terjemahan digolongkan sebagai karya baru, namun karya terjemahan  bukan merupakan versi baru (new version), parodi atau jiplakan dari karya yang diterjemahkan. Karya terjemahan adalah suatu perbanyakan dari karya asli dalam bentuk bahasa yang berbeda. Dalam karya terjemahan, yang berbeda hanya bahasanya dan bukan ceritanya. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai karya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi karena dibutuhkan keahlian, upaya dan kreativitas dalam menerjemahkan suatu karya penulis lain tanpa merubah, menambah atau mengurangi substansi dari karya aslinya.
Disisi lain dibutuhkan kepekaan dan kesadaran dari penerjemah bahwa ia tidak membuat suatu karya versinya sendiri akan tetapi ia hanya berusaha menceritakan kembali suatu karya dalam bahasa yang berbeda. Seorang penerjemah must be humble, harus memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk tidak menonjolkan dirinya dalam karya terjemahannya akan tetapi menonjolkan si empunya cerita yaitu penulis asli. Karena sesungguhnya menerjemahkan suatu karya penulis lain adalah sama dengan menerjemahkan Hak Moral Pencipta karya yang asli dalam karya terjemahannya. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Cipta yang menganugerahkan Hak Cipta terjemahan atas kepiawaian penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya dalam bahasa yang berbeda tanpa mengubah esensi karya yang asli dan tidak menciderai reputasi penulis yang asli.
Suatu terjemahan yang dilakukan tidak professional dan melangkahi akidah dan etika menerjemahkan akan mencederai Hak Moral Pencipta karya yang asli. Karena itu, terjemahan yang tidak professional yang telah menambah, mengubah atau meniadakan beberapa bagian dari karya asli dapat melanggar Hak Moral Pencipta. Berdasarkan Pasal 55 jo Pasal 58 UU Hak Cipta, pelanggaran Hak Moral dapat dituntut secara perdata maupun pidana dan UU Hak Cipta memberi hak persona standi in judicio bagi penulis atau ahli warisnya untuk menggugat manakala Ciptaan penulis asli dicederai dengan berbagai cara dan modus operandi seperti:
Ø  Tidak mencantumkan nama Pencipta dalam karya terjemahan.
Ø  Menjual nama Pencipta dengan cara mencantumkan nama Pencipta pada karya orang lain.
Ø  Merubah, menambah, menghilangkan sebagian Ciptaan atau merusak  Ciptaan Pencipta tanpa izin.
Sedangkan ancaman pidana pelanggaran Hak Moral diatur dalam Pasal 72 ayat (6) UU Hak Cipta yaitu pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda maksimum 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah).
******