Menajamkan Taji Komisi Yudisial
Benny K Harman, Ketua Komisi IIIDPR RI dalam rapat Panja RUU Komisi Yudisial yang dilakukan pada tanggal 26 Mei 2011 mengusulkan agar Komisi Yudisial bisa langsung menjatuhkan sanski kepada para hakim Pengadilan Negeri dan hakim tinggi (tingkat banding). Sedangkan untuk hakim angung, dilakukan melalui prosedur Majelis Kehormatan Hakim. Alasannya sangat sederhana, “Biar kewenangan Komisi Yudisial lebih tajam.” Ironisnya hampir seluruh fraksi di Panja RUU Komisi Yudisial menyetujui 'ide cemerlang 'Benny K Harman ini dan hanya Fraksi Kebangkitan Bangsa yang tidak setuju akan tetapi karena perbedaan perlakuan terhadap hakim agung dengan hakim tingkat pertama dan banding tersebut. Ide ini tentunya akan mengubah substansi dari Pasal 22D dan 22E RUU Komisi Yudisial yang mengatur bahwa penjatuhan sanksi kepada hakim pelanggar kode etik diusulkan kepada Mahkamah Agung.
Kalau kita cermati kembali UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan dibandingkan dengan RUU Perubahan UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, jelas sekali ada perubahan-perubahan yang mendasar yang telah memberi kewenangan yang lebih besar dan kemandirian bertindak bagi Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya melakukan pengawasan terhadap perilaku para hakim di Indonesia.
RUU Komisi Yudisial merubah Pasal 20 dengan mempertegas 2(dua) jenis pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial yaitu: (1) Menjaga kehormatan hakim dengan cara merekomendasikan promosi dan mutasi hakim dan meningkatkan pendidikan kepada para hakim dan (2) Menegakkan kehormatan hakim. Tugas menjaga kehormatan hakim akan dilaksanakan dengan cara berkordinasi dengan Mahkamah Agung. Namun tugas menegakkan kehormatan hakim mutlak berada ditangan Komisi Yudisial tanpa berkordinasi dengan Mahkamah Agung. Adapun tugas menegakkan kehormatan hakim meliputi:
1) Pengawasan terhadap perilaku hakim
2) Memeriksa dan menyimpulkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Kemandirian Komisi Yudisial untuk melakukan tugas menegakkan kehormatan hakim ini diperkuat pula dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 RUU Komisi Yudisial yang menegaskan bahwa pengaduan terhadap pelanggaran kode etik hakim tersebut berasal dari masyarakat dan Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya. Pasal 20 dengan 22 RUU Komisi Yudisial bersinerji menyingkirkan peran Mahkamah Agung dalam mengawasi perilaku para hakim. Bahkan Mahkamah Agung maupun badan peradilan lainnya dimungkinkan untuk melaporkan hakim yang melanggar kode etik kepada Komisi Yudisial! Sedangkan pemeriksaan terhadap hakim yang dilaporkan dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial tanpa melibatkan Mahkamah Agung.
Jika RUU Komisi Yudisial ini disetujui dan ‘ide cemerlang’ dari Benny K Harman juga diadopsi dimana Komisi Yudisial memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanski langsung kepada hakim yang telah melanggar kode etik, maka Komisi Yudisial benar-benar menjadi lembaga pengawas utama bagi hakim-hakim di Indonesia. Dominasi sebagai lembaga pengawas hakim ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan jika Komisi Yudisial tidak mencampuradukkan pengawasan ekseternal dengan pengawasan internal yang merupakan wewenang mutlak dari Mahkamah Agung. Namun ada indikasi bahwa Komisi Yudisal masih belum cukup terlatih untuk membedakan mana prilaku hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim dengan tugas hakim dalam mengadili suatu perkara.
Dalam laporan ahir periode Komisi Yudisial disebutkan bahwa kendala tugas pengawasan adalah karena Mahkamah Agung belum sepenuhnya koperatif dengan Komisi Yudisial dan adanya perbedaan sikap antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang penerapan Kode Etik yang telah disusun bersama. Komisi Yudisial dalam laporannya juga menyampaikan alibi mengapa Komisi Yudisal menggunakan putusan hakim sebagai entry untuk melakukan pemeriksaan atas laporan masyarakat dengan alasan bahwa laporan masyarakat pada umumnya berkisar tentang putusan dengan dugaan adanya:
1) Manipulasi fakta
2) Melanggar hukum acara
3) Membuat pertimbangan hukum yang telah menguntungkan salah satu pihak
Jika kita cermati lebih lanjut alasan-alasan tersebut, jelas bahwa hal tersebut masuk dalam ranah hukum acara dan bukan sikap atau perilaku yang melanggar kode etik. Tentang fakta yang ditemui di persidangan adalah wewenang judex facti, jadi jika Komisi Yudisial melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim yang menyangkut fakta-fakta, artinya Komisi Yudisal telah memeriksa kembali keterangan saksi-saksi yang didengar berikut barang bukti yang dihadirkan dan melakukan struktur ulang fakta-fakta tersebut. Jika ini terjadi, perbuatan tersebut tentunya telah merubah suatu putusan dan terjadi tindakan mengadili kembali. Padahal, Komisi Yudisal tidak memiliki kewenangan mengadili atau mengadili kembali suatu perkara.
Jika ternyata ada laporan hakim telah melanggar hukum acara, tentunya hal tersebut diperiksa dari Berita Acara Persidangan. Hukum acara yang mana yang dilanggar? Jika misalnya hukum acara yang dilanggar adalah persidangan yang harusnya tertutup dilakukan terbuka atau sebaliknya, apakah Komisi Yudisial berwenang memerintahkan agar perkara diperiksa kembali? Jika Komisi Yudisial memeriksa dan mengaudit pertimbangan hukum dalam suatu putusan untuk melihat adanya pelanggaran kode etik, apakah perbuatan tersebut tidak sama dengan mengadili kembali?
Hal-hal ini kembali membawa kita pada perenungan: benarkah Komisi Yudisial beritikad baik untuk menjaga kehormatan hakim dan menegakkan kehormatan hakim? Jika benar demikian, haruskah putusan hakim dijadikan wadah untuk memeriksa ada tidaknya pelanggaran kode etik? Tidakkah tindakan Komisi Yudisial yang ahir-ahir ini mengaudit putusan Antasari dengan memanggil dan mendengar saksi-saksi untuk memeriksa laporan bahwa hakim tidak memeriksa dan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut umum sebagai salah satu demonstrasi sempurna bahwa Komisi Yudisial sendiri telah melanggar etika hukum dan hukum acara yang menunjukkan bahwa Komisi Yudisial seolah-olah haus akan kekuasaan untuk mengadili putusan-putusan yang dilaporkan?
Jika fenomena perilaku Komisi Yudisial ini dibenarkan, maka penerapan teori kekuasaan Montesque yang seyogyanya mengidealkan separation of power benar-benar diterapkan menjadi bagi-bagi kekuasaan di Indonesia. Semoga saja kebijakan Komisi Yudisal ini nantinya tidak menghapuskan upaya hukum banding dan kasasi ke tingkat peradilan yang lebih tinggi. Atau mungkin nantinya masyarakat pencari keadilan memiliki opsi: banding atau kasasi ke Komisi Yudisial jika tidak percaya pada badan peradilan. Dalam praktek sistem bagi-bagi kekuasaan, semuanya bisa mungkin terjadi!
