Senin, 06 Juni 2011

Photo : Dua Belahan Jiwa


Pada suatu masa, ditahun 1993 ada 1(satu) buku yang paling dicari oleh orang Indonesia. The most wanted book tersebut berjudul Madame D’syuga, terbitan Scholars Publishers, Tokyo seharga 4.800 yen. Pamor buku Madame D’syuga menjadi the most wanted book terdongkrak bukan saja karena dilarang beredar di Indonesia berdasarkan SK No.KEP.104/JA/II/1993 tertanggal 8 November 1993, akan tetapi karena buku tersebut kononnya berisi photo-photo tak senonoh dari Ratna Sari Dewi, salah seorang janda mendiang Soekarno, Presiden Indonesia yang pertama.

Photo Yang Menimbulkan Kontroversi
Begitu hebohnya buku berjudul Madame D’syuga sehingga Menteri Peranan Perempuan yang kala itu dijabat oleh Mien Sugandhi dalam siaran persnya meminta pemerintah melarang peredaran buku tersebut di Indonesia karena isinya dinilai sangat memalukan dan bahkan menyinggung harga diri perempuan Indonesia serta tidak menunjukkan citra Indonesia.

Pernyataan keras berupa kecaman dari seorang menteri yang notabene seorang wanita yang notabene pula membidangi urusan tetek bengeknya perempuan di negeri ini tentunya menunjukkan seriusnya masalah yang akan ditimbulkan oleh buku tersebut karena menyangkut harga diri perempuan Indonesia dan citra Indonesia pada umumnya, sehingga buku tersebut dinilai tidak pantas menginjakkan kakinya di bumi ibu pertiwi ini.

Saya sendiri belum pernah melihat secara langsung isi buku tersebut. Kononnya buku tersebut berisi photo-photo nudis maupun setengah nudis dari Ratna Sari Dewi. Terdapat pro dan kontra atas kebijakan Pemerintah yang memboikot dan melarang buku tersebut untuk diedarkan di Indonesia. Kubu yang pro, tidak melihat isi buku tersebut sebagai suatu ‘kemesuman’ atau ‘pornografi’ akan tetapi sekumpulan photo eksklusif yang sangat indah bercita rasa seni tinggi. Kubu yang pro memuji kepiawan seni lukis tubuh dari Teruko Kobayashi yang membungkus setiap lekuk tubuh Ratna Sari Dewi layaknya gaun yang indah. Photo-photo tersebut adalah hasil kolaborasi seni tingkat tinggi antara Ratna Sari Dewi yang tubuhnya dilukis oleh Teruko Kobayashi dengan kepiawan yang teruji dari photografer Hideki Fuji dalam mengabadikan setiap gerak dan ekspressi wajah Ratna Sari Dewi. Hideki Fuji sendiri adalah seorang photographer asal Jepang yang reputasinya diakui secara internasional dengan photonya berjudul Gadis Berkimono.

Tampaknya panorama keindahan seni dari kacamata yang pro pada Madame D’Syuga tersebut tidak sealiran sungai dengan sengitnya kecaman ibu menteri Mien Sugandhi yang melihat photo tersebut dari kacamata dan hati seorang perempuan Indonesia yang menilai akibat visual photo-photo tersebut telah merendahkan perempuan Indonesia. (Tampaknya Mien Sugandhi lupa kalau Ratna Sari Dewi bukan asli perempuan Indonesia). Apakah keindahan seni hanya bisa dipahami oleh mata dan hati seorang laki-laki? Pertanyaan ini tentunya masih dapat diperdebatkan kebenarannya.

Dalam perjalannya, pelarangan edar buku Madame D’Syuga memiliki rentetan kasus hukum di Indonesia. Pada tahun 1998, sebuah majalah bernama What’s on Indonesia telah memuat beberapa cuplikan photo dari buku Madame D’Syuga dalam Edisi 132 yang terbit pada tanggal 2 November 1998. Dalam pemuatan photo-photo tersebut dicantumkan Dok.Madame D’Syuga. Namun Ratna Sari Dewi merasa dirinya telah direndahkan dengan publikasi tersebut dan sebagai pemilik photo ia mengajukan tuntutan hukum terhadap Redaksi What’s On Indonesia.

Pengadilan dengan putusan tertanggal 3 Juni 2002 menghukum Warsito selaku Redaksi majalah What’s on Indonesia bersalah melanggar Pasal 44 ayat (2) UU No.12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta dan dihukum 1(satu) tahun penjara. Hakim menilai Warsito bersalah telah memperbanyak dan menyebarluaskan photo-photo Ratna Sari Dewi yang ada dalam buku Madame D’Syuga secara tanpa hak.

Photo Menurut UU Hak Cipta
Berbicara tentang hakekat sebuah photo atau potret, tampaknya hanya Oscar Wilde yang mampu menggambarkan secara tepat akan jiwa dari sebuah potret dalam karyanya berjudul ‘The Picture of Dorian Gray’s sebagai berikut:
Every potrait that is painted with feeling is a potrait of the artist, not the sitter. The sitter is merely the accident, the occassion. It is not who is revealed by the painter; it is rather the painter who on the coloured canvas, reveals himself. The reason I will not exhibit this picture is that I am afraid that I have shown it the secred of my own soul.”

Meskipun photo dianggap sebagai hasil kerja kamera yang melibatkan sedikit peran intelektual manusia, pembuatannya telah memenuhi teori penciptaan dalam ranah hukum Hak Cipta yang disebut sebagai konsep ex nihilo nihil fit atau tiada suatupun yang muncul dari ketiadaan. Artinya, suatu Ciptaan tidak mutlak harus murni berasal dari ide yang baru atau novel karena teori novelty tidak diterapkan dalam hukum Hak Cipta sebagaimana diberlakukan secara konsisten dalam perlindungan hak Paten atas suatu penemuan baru atau invensi.

Uniknya, UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta telah menempatkan photo sebagai salah satu Ciptaan di bidang seni (art) yang istimewa dibandingkan dengan Ciptaan lainnya seperti seni lukis, gambar atau lagu. Oleh karenanya, dari sudut hukum hak kekayaan intelektual, pemboikotan dan pelarangan edar buku Madame D’Syuga dinilai sebagai bentuk pengingkaran akan eksistensi photo sebagai karya intelektual manusia yang harusnya bebas dari penghakiman di luar seni dan penilaian etika moral.

Khusus untuk photo diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 UU Hak Cipta yang intinya menegaskan bahwa photo atau potret (terutama potret diri seseorang) bersifat personal. Keistimewaan lainnya adalah photo atau potret memiliki dua jiwa, yaitu jiwa dari orang yang dipohoto dan jiwa dari orang yang membuat photo tersebut. Oleh karena itu, UU Hak Cipta Indonesia membuat pemisahan antara hak kebendaan atau chattel rights atas photo ada pada orang yang diphoto, sedangkan Hak Cipta dianugrahkan pada sang pelukis atau photographer.

Pemilik photo berhak hak untuk mempertunjukkan potret atau photo tersebut di depan umum, memperbanyak potret dalam satu katalog atau mempublikasikan Ciptaan potret tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari Pencipta atau sang photografer. Sedangkan photographer selaku pemegang Hak Cipta tidak memiliki hak eksklusif mutlak atas perbanyakan dan publikasi photo tersebut seperti pemegang Hak Cipta atas Ciptaan lainnya yang memiliki hak eksklusif absolut atas Ciptaannya. Hak eksklusif dari photographer  untuk memperbanyak atau mempublikasi photo ciptaannya harus disinkronisasikan dengan kemauan atau izin dari orang yang diphoto.

Namun demikian, kewenangan penuh dari pemilik photo atau potret untuk memperbanyak atau mempublikasikan photo dirinya tanpa izin photographer tidak boleh melanggar Hak Moral dari si photografer dan karena itu nama photographer sebagai Pencipta photo senantiasa wajib dicantumkan. Si empunya photo juga memiliki kewajiban untuk memelihara Hak Moral si photografer lainnya yaitu right of integrity dan right of attribution yang memberi hak personal pada photographer untuk tetap memelihara keutuhan dari photo tersebut. Artinya, si empunya photo tidak berhak untuk merubah, memodifikasi atau meniadakan bagian-bagian tertentu dari photo tersebut.  Hal ini merupakan prinsip yang berlaku dalam teori penciptaan bahwa setiap Ciptaan adalah sempurna dan hanya Pencipta yang berhak melakukan editing maupun merubah suatu Ciptaannya. Photo tersebut adalah belahan jiwa dari sang photographer meskipun photo tersebut milik orang lain dan meskipun photographer tidak berkuasa penuh atas ciptaannya.

Meskipun digolongkan sebagai genus yang spesial dari suatu Ciptaan, keberadaan dan peredaran suatu photo kerap disamakan dengan Ciptaan lainnya seperti buku atau film. Jika publikasi suatu photo berisi pesan visual yang “berbahaya” bagi masyarakat, maka layak edarnya harus diatur dengan peraturan tersendiri. Layak edar suatu buku, Film atau photo sudah diatur di Indonesia sejak tahun 1963 dengan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum. Salah satu alasan untuk dilarang diedarkan di Indonesia adalah jika publikasi tersebut dapat merusak akhlak dan memajukan percabulan atau pornografi. Pelarangan edar buku Madame D’Syuga yang berisi photo-photo Ratna Sari Dewi tersebut berpedoman pada peraturan ini seakan-akan buku Madame D’Syuga digolongkan sebagai pornografi yang dapat merusak akhlak bangsa dan menyinggung harga diri perempuan Indonesia.

Sedangkan putusan Pengadilan dalam kasus photo Madame D’Syuga yang menghukum Redaksi Majalah What’s On Indonesia tidak ada sangkut pautnya dengan larangan edar atas buku tersebut di Indonesia. Putusan tersebut mempertegas kembali prinsip yang diatur dalam UU Hak Cipta tentang photo sebagai suatu genus istimewa dari Ciptaan yang mengandung 2(dua) jenis hak yang pelaksanaannya harus disinkronisasikan satu sama lainnya. Majalah What’s On Indonesia tidak berhak mempublikasikan photo diri Ratna Sari Dewi tanpa izin khusus dari Ratna Sari Dewi, meskipun Redaksi telah mencantumkan sumber dari photo. Penyebutan sumber dari photo saja tidak cukup untuk menghindari pelanggaran Hak Cipta. Terlebih lagi bahwa publikasi photo-photo tersebut tidak dalam konteks pemberitaan dan kalaupun menyangkut pada pemberitaan, tentunya bukan photo syuur dari buku Madame D’Syuga yang dipublikasikan.
******
           

Minggu, 05 Juni 2011

Menerjemahkan Hak Moral Pencipta



Pernahkah anda begitu bersemangat membeli sebuah buku terjemahan karya seorang penulis terkenal, akan tetapi setelah membaca karya terjemahan tersebut anda merasa kecewa dan berpikir, ” Wah...ternyata karya pengarang ini gak sehebat beritanya!”?

Perjalan spiritual saya ke Toko Buku Gramedia pada suatu senja berinai hujan di bulan April 2011 silam mempertemukan saya dengan sebuah buku terjemahan karya Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Love in The Time of Cholera. Terdorong oleh beberapa kajian sastra tentang karya Marquez yang pernah saya baca berikut dorongan memory dari film dengan judul yang sama yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi sebulan yang silam, saya memutuskan untuk membeli novel terjemahan dari Love In The Time of Cholera diterjemahkan menjadi Cinta Sepanjang Derita Kolera.

Terus terang, judul terjemahan tersebut sedikit mengganggu selera membaca saya. Perasaan terganggu berlanjut lebih intens lagi ketika saya mulai membaca halaman pertama. Ada beberapa paragraph terkesan diterjemahkan words by words sehingga menjadi kalimat tanpa jiwa dan kering. Ahirnya, saya berhenti membaca karya terjemahan tersebut, lalu  karya terjemahan tersebut saya simpan di laci bersama-sama dengan buku-buku lain yang tidak ingin saya baca kembali. Singkatnya, dengan membaca beberapa lembar saja, saya tidak menemukan kehebatan dari karya Gabriel Garcia Marquez dari terjemahan buku tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan gambaran di film yang sudah saya lihat sebelumnya.

Kadang-kadang, membaca karya asli dalam bahasa Inggris lebih terasa nikmat daripada membaca karya terjemahan ke bahasa Indonesia. Saya memiliki terjemahan dari karya Vincent Mahieu, seorang penulis sastra Belanda berjudul Tjis dan Tjus yang diterjemahkan oleh H.B Jassin menjadi Cis dan Cus pada tahun 1976. Begitu piawainya H.B Jassin menerjemahkan buku tersebut ke bahasa Indonesia sehingga terjemahan karya Vincent Mahieu mengalir indah dan enak dibaca. Saya juga memiliki koleksi buku terjemahan dari berbagai bahasa seperti Spanyol, bahasa Jepang, bahasa China atau Russia yang enak dibaca seperti karya Eiji Yoshikawa dalam Musahsi atau karya terjemahan maha karya penulis sastra terkenal dunia lainnya seperti Guy de Maupassant, Anton P.Chekov, Lao Hsiang, Nikolai Gogol dan sebagainya yang dengan tepat menggambarkan ciri khas kehebatan bertutur dari para sastrawan tersebut.

Pergaulan saya dengan karya terjemahan dimulai sejak kecil, ketika saya membaca terjemahan buku-buku karya Enid Blyton, Laura Inggals dan Frances Hodgson Burnett. Setelah dewasa dan saya mampu membaca dalam versi bahasa Inggris, saya mendapati sensasi yang sama dengan ketika membaca karya terjemahan dalam bahasa Indonesia dan saya dapat merasakan kehebatan bertutur penulis-penulis tersebut. Siapakah penerjemahnya? Saya bahkan tidak pernah ingat! Dalam karya terjemahan, ternyata si penerjemah kerap dilupakan oleh pembacanya karena judul buku terjemahan tetap menggunakan nama penulis yang asli. Namun ini menjadi bukti kuat, suatu  prima facie tak terbantahkan dari suatu karya terjemahan yang berhasil. Mengapa? Karena  dalam karya terjemahan yang berhasil, pembaca memperoleh sensasi yang sama dengan ketika membaca versi bahasa penulis aslinya, seolah-olah sang penerjemah dengan penulis asli novel tersebut adalah orang yang sama, hanya saja dia menceritakan kembali isi novel tersebut dengan bahasa yang berbeda.

Sesungguhnya, itulah hakekat dari karya terjemahan. Si perjemah harus dapat menceritakan ulang suatu karya orang lain dalam bahasa yang berbeda tanpa penambahan atau pengurangan yang merubah alur dan esensi cerita atau merubah ciri khas gaya bercerita si penulis asli. Dalam karya terjemahan, si penerjemah adalah the re-story teller yang berada di belakang si penulis cerita asli dan bukan si penulis cerita itu sendiri. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai suatu Ciptaan baru yang dilindungi oleh Hak Cipta sebagai reward pada karya intelektual penerjemah dalam menceritakan kembali.

Dalam bisnis penerbitan, karya terjemahan dianggap penting dilakukan sesuai dengan porsinya tanpa merubah suatu karya yang diterjemahkan. Konsep ini merupakan harga mati, suatu dalil yang tidak bisa disimpangi,  karena sesungguhnya Penerbit  menjual Ciptaan yang dimiliki oleh 2(dua) Pemegang Hak Cipta yaitu Pencipta penulis asli dan Pencipta karya terjemahan. Karena itu perlu adanya tanda authorized translate yang dicantumkan dalam karya terjemahan sebagai bentuk tanggungjawab Penerbit bahwa pihak yang telah mendapat izin resmi dari Penulis asli (the Author) untuk menjaga kesamaan mutu terjemahan dengan karya aslinya. Tanda hak untuk menerjemahkan tersebut, misalnya, dapat kita temui dalam  terjemahan buku berjudul Around The World in 80 Dinners oleh Cheryl dan Bill Jamison sebagai berikut:
Indonesian translation rights arranged through the Doe Coover Agency, Winchester, Massachussetts, USA.
Dengan adanya tanda tersebut, terjalin hubungan hukum antara penerjemah atau penerbit dengan pemegang hak cipta atas buku tersebut yang mengandung makna bahwa penerjemah berhak memperbanyak suatu Ciptaan dalam bahasa yang berbeda dan bertanggungjawab terhadap mutu terjemahan serta menjaga Hak Moral Pencipta buku aslinya.

Dari sudut UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, suatu terjemahan digolongkan sebagai Ciptaan yang baru yang dilindungi Hak Cipta dan memiliki keistimewaan sebagai berikut:
Ø  Karya terjemahan (Translated Work) dalam ranah Hak Cipta adalah karya turunan (Derivative Work) dari karya asli yang juga dilindungi Hak Cipta. Dalam suatu karya terjemahan terjadilah proses konsepsi Hak Cipta melahirkan Hak Cipta. Suatu terjemahan secara hukum dianggap sebagai karya baru dan Hak Cipta terjemahan ada pada penerjemah

Meskipun disebut sebagai karya baru yang dilindungi Hak Cipta, suatu karya terjemahan tetap memiliki koneksi yang abadi dan tak terputuskan dengan Penulis karya yang asli. Koneksi abadi tersebut secara tegas diatur oleh Pasal 24 UU Hak Cipta yang mengatur tentang Hak Moral Pencipta.
Ø  Koneksi antara penulis karya yang asli dengan karya terjemahan dalam versi bahasa yang berbeda tidak boleh diputuskan oleh siapapun meskipun Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh pihak lain karena pengalihan Hak Cipta dengan jual beli ataupun karena hibah maupun warisan.
Ø  Koneksi penulis karya yang asli dengan karyanya diwujudkan dalam pengakuan akan Hak Moral Pencipta dengan cara mencantumkan nama penulis dan judul karya yang asli dalam karya terjemahan.

Meskipun karya terjemahan digolongkan sebagai karya baru, namun karya terjemahan  bukan merupakan versi baru (new version), parodi atau jiplakan dari karya yang diterjemahkan. Karya terjemahan adalah suatu perbanyakan dari karya asli dalam bentuk bahasa yang berbeda. Dalam karya terjemahan, yang berbeda hanya bahasanya dan bukan ceritanya. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai karya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi karena dibutuhkan keahlian, upaya dan kreativitas dalam menerjemahkan suatu karya penulis lain tanpa merubah, menambah atau mengurangi substansi dari karya aslinya.

Disisi lain dibutuhkan kepekaan dan kesadaran dari penerjemah bahwa ia tidak membuat suatu karya versinya sendiri akan tetapi ia hanya berusaha menceritakan kembali suatu karya dalam bahasa yang berbeda. Seorang penerjemah must be humble, harus memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk tidak menonjolkan dirinya dalam karya terjemahannya akan tetapi menonjolkan si empunya cerita yaitu penulis asli. Karena sesungguhnya menerjemahkan suatu karya penulis lain adalah sama dengan menerjemahkan Hak Moral Pencipta karya yang asli dalam karya terjemahannya. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Cipta yang menganugerahkan Hak Cipta terjemahan atas kepiawaian penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya dalam bahasa yang berbeda tanpa mengubah esensi karya yang asli dan tidak menciderai reputasi penulis yang asli.

Suatu terjemahan yang dilakukan tidak professional dan melangkahi akidah dan etika menerjemahkan akan mencederai Hak Moral Pencipta karya yang asli. Karena itu, terjemahan yang tidak professional yang telah menambah, mengubah atau meniadakan beberapa bagian dari karya asli dapat melanggar Hak Moral Pencipta. Berdasarkan Pasal 55 jo Pasal 58 UU Hak Cipta, pelanggaran Hak Moral dapat dituntut secara perdata maupun pidana dan UU Hak Cipta memberi hak persona standi in judicio bagi penulis atau ahli warisnya untuk menggugat manakala Ciptaan penulis asli dicederai dengan berbagai cara dan modus operandi seperti:
Ø  Tidak mencantumkan nama Pencipta dalam karya terjemahan.
Ø  Menjual nama Pencipta dengan cara mencantumkan nama Pencipta pada karya orang lain.
Ø  Merubah, menambah, menghilangkan sebagian Ciptaan atau merusak  Ciptaan Pencipta tanpa izin.
Sedangkan ancaman pidana pelanggaran Hak Moral diatur dalam Pasal 72 ayat (6) UU Hak Cipta yaitu pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda maksimum 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah).
******