Rabu, 20 April 2011

Coffee Morning Dengan Kartini (Part I)

Kami sudah membuat janji untuk bertemu hari ini, di sebuah lobby hotel tua di kotaku yang terkenal dengan bangunan bergaya Art Deco. Pagi itu serasa lebih cerah dari biasanya meskipun awan kelabu berarak ke ufuk timur menutup cahaya matahari, menandai efek badai La Nina masih akan mengirimkan paket-paket hujan dan badai ke negeriku.

Ternyata dia sudah menungguku.
Duduk tenang seperti patung Budha tengah bermeditasi dipojok timur lobby, diantara dua buah pot berwarna putih dengan tanaman bougenville berwarna merah magenta. Ketika kakiku melangkah masuk ke dalam lobby tersebut, sosoknya kelihatan sebagai silluet yang kontras dengan merah meriahnya bougenville tersebut. Hhhmm...dari cara duduknya dan tempat yang dipilihnya, pastilah dia memiliki selera tersendiri dalam hal apapun, pikirku.
Ketika bertemu dengannya, aku merasa kaget melihat penampilannya. Betapa tidak, aku berusaha menghargai dirinya untuk pertemuan coffee morning ini dan sengaja mengenakan kebaya tradisionil. Karena tidak menyukai kebaya berbahan kain brokat prancis (yang dianggap menyimbolkan keglamoran), aku memilih memakai kebaya dari bahan katun warna white broken dengan bordiran kreasi anak bangsa dari Tanggulangin-Surabaya. Sedangkan padanannya adalah sarung batik jambi bernuansa merah cabai dengan motif durian pecah. Yang mungkin mewakili era modern adalah  sepatu pump  berwarna merah  yang aku pakai karena aku tidak memiliki kelom.
Tapi tampilan Kartini  jauh berbeda dengan photo-photonya yang aku lihat selama ini, yang mengenakan  kebaya klasik khas Jawa Tengah tempat ia berasal dengan jarik batik yang serba lawasan. Pagi ini  ia mengenakan kebaya modern dari batik Cirebon motif buketan berwarna cerah dipadukan dengan celana jeans biru denim! Aku melihat tasnya yang terletak diatas kursi disamping kirinya model etnik terbuat dari bahan batik Cirebon motif mega mendung warna merah saga berpadu biru cerah dan ia memakai sepatu high heels bertali berwarna kulit....Alamak!! Potongan rambutnya juga sangat modern. Jelas rambutnya tersebut di highlight dengan semir rambut berwarna burgundi dan dia buat sanggul kecil gaya french twist. Make up nya sempurna, tidak menor akan tetapi cukup elegan untuk menutupi garis-garis usia pada wajahnya. Yang lebih mengagetkannku, dihadapannya terbuka sebuah lap top mini teranyar berwarna merah, semerah bunga-bunga bougenville itu, semerah lipstick yang dipakainya dengan tulisan Ferrari dan didekatnya ada sebuah blackberry dengan cover berbalut taburan kristal swarosky. Lebih heboh lagi, ia mencat kukunya dengan warna biru indigo dan ada lukisan bunga-bunga yang blink-blink ditiap kuku tersebut.
Aku menarik nafas, ragu sejenak.
Apakah dia ini Kartini yang berjanji untuk coffee morning denganku pagi ini? Atau aku mendapati perempuan yang salah-error in persona?. Aku membuang pandanganku keseluruh lobby, mencari sosok Kartini yang aku bayangkan dan yang hanya ku kenal dari photo-photo yang ada padaku. Tapi pagi itu, lobby hotel masih sepi. Hanya ada kami berdua dan seorang laki-laki keturunan asing di dekat jendela yang asyik menikmati sinar matahari yang temaram sembari membaca koran. Melihat keraguanku, dia berdiri sembari menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri:
"Namaku Kartini. Kita berjanji jumpa ditempat ini, bukan?"
Aku tersipu, merasa lega dan menyambut uluran tangannya dan memperkenalkan diri.
Begitulah caranya aku bertemu dan berkenalan dengan Kartini untuk pertama kalinya, pada suatu pagi 21 April disebuah lobby hotel tua di kota kelahiranku.
 *****
Pertemuan kami hari itu tidak didesain hanya untuk sekedar minum kopi dan makan camilan ringan. Rencananya kami akan membicarakan tentang karya Kartini yang spektakuler berjudul: MENGGUGAT  DOMINASI LELAKI yang berisi banyak hal tentang kehidupan perempuan dalam masyarakat Indonesia . Namun tampaknya pembicaraan terjadi tanpa terencana sama sekali. Daftar wawancara yang telah aku persiapkan jauh-jauh hari tidak ada gunanya dan ia juga seakan-akan enggan membicarakan hal-hal yang bersifat masa lalu, padahal pertanyaan-pertanyaan yang akan aku ajukan adalah seputar sepak terjang dan perjuangannya di masa lalu.
"Apa yang kulakukan di masa lalu adalah milik masa lalu. Mengapa kita harus merujuk fenomena yang ada sekarang ke masa lalu? " protesnya lembut.
"Hukum dinamika akan melahirkan pandangan-pandangan baru tentang hakekat perempuan dan perannya dalam masyarakat. Mungkin saja pandangan baru tersebut berangkat dari nilai-nilai lama dan hal itu sah saja karena nilai-nilai dalam masyarakat idealnya bukanlah keabadian akan tetapi nilai yang tunduk pada hukum dinamika."
 
"Setahu saya anda tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hukum dinamika dan perubahan sosial dalam karya anda." kataku bernada mengoreksi.
"Memang tidak saya sebutkan secara terbuka. Karena karya saya yang dulu adalah gugatan saya akan kondisi yang saya alami dulu dan bagaimana saya menyuarakan aspirasi saya untuk merubah keadaan tersebut. Apa yang saya tulis dulu adalah semacam 'keluhan seorang anak perempuan' namun anda bisa lihat dan alami sendiri bukan, bagaimana sebuah keluhan yang sederhana begitu dahsyatnya mampu membuat suatu perubahan yang luar biasa  meskipun memakan waktu yang cukup lama. Karena itu, saya tidak akan membicarakan masa lalu saya dan pikiran saya dengan anda hari ini. Tapi tanyalah saya tentang kekinian yang ada tentang urusan perempuan dan akan saya jawab dari perspektif masa lalu saya." ujarnya bijak.
Saya kelabakan ditantang seperti itu. Terus terang tidak ada persiapan diluar dari daftar pertanyaan, yang sudah dipersiapkan. Sebagai seorang reporter yang belum berpengalaman saya merasa sedikit panik. Kembali saya menatap dirinya from head to toe dan entah mengapa komentar 'dungu' itu keluar dari mulut saya dan terekam dalam recorder saya:
"Tampilan diri anda tidak seperti apa yang tergambar dalam pikiran atau keluhan anda dalam karya anda dulu...Anda tampil tak terduga...is just not like Kartini.."
"Menurut anda, seharusnya Kartini itu bagaimana ?" Ia tertawa, "Tolong jangan menilai jalan pikiran atau nilai-nilai yang dianut oleh seorang wanita dari penampilannya. Terlebih lagi, jangan  pernah dikte penampilan dan isi otak seorang perempuan."
"Tentu saja penampilan seseorang lebih banyak berbicara, apalagi  anda adalah sosok wanita Indonesia yang telah menginspirasi jutaan perempuan di Indonesia untuk mengekspressikan diri dan  tentu saja mereka menjadikan anda sebagai role model diri mereka dari segi apapun." debat saya.
"Inilah kekeliruan berpikir bangsa Indonesia yang saya takutkan akan timbul atas penafsiran dari karya saya tersebut. Seharusnya perempuan di Indonesia menjadi diri mereka sendiri dengan tetap berpijak pada akar budaya mereka, sehingga perempuan Indonesia tidak gamang dengan diri mereka sendiri. Seperti saya, anda lihat kan? Saya menjadi diri saya sendiri, saya menentukan gaya saya sendiri, Saya adalah tuan atas diri saya sendiri. Inilah saya yang sebenarnya. Mengapa perempuan Indonesia mau menjadi kartini-kartini yang dia sendiri tidak mengenalnya secara pribadi dan hanya mengenalnya dari tulisannya belaka?" keluhnya dengan nada tinggi namun tidak mengurangi keanggunan sikapnya.
"Jangan salahkan perempuan Indonesia yang mengidentikkan dirinya dan menyebut diri mereka sebagai  kartini-kartini masa kini. Anda bertanggungjawab moral atas hal tersebut karena anda telah menjadi inspirasi hidup mereka sehingga mereka mengidentifikasikan diri mereka secara massal sebagai kartini-kartini masa kini."
"Di masa lalu, mungkin banyak kartini-kartini seperti saya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa tidak semua perempuan Indonesia berada dibawah dominasi laki-laki. Bagaimana dengan fakta sosial sistem kekerabatan matrelinial di Sumatera Barat yang mendudukkan perempuan sebagai dominator dalam kekerabatan dan pewarisan? Bagaimana dengan saudara saya Tjut Nyak Dhien yang segagah laki-laki mengangkat senjata melawan penjajah Belanda bersama-sama dengan suaminya di daerah Aceh sana? Apakah karena perempuan-perempuan yang bermukim  di bumi svarna dwiva sana lebih manusia daripada perempuan yang tinggal di pulau Jawa? Apakah bagi perempuan di Sumatera Barat atau di Aceh seorang  Kartini begitu berarti dan menginspirasi mereka dalam mencapai impiannya? Terlalu heroik sosok diri saya jika anda katakan mereka juga menjadikan saya sebagai role model mereka. Tentu saja tidak. Demikian pula, sosok Kartini adalah makhluk alien bagi perempuan di pelosok Papua sana, karena bagi mereka perempuan impian adalah sosok yang kuat secara fisik dan arif menyikapi perlakuan laki-laki. Apakah mereka mengenal saya? Apakah saya menjadi inspirasi mereka? Jawablah!" desaknya. Tentu saja saya tidak memiliki argumentasi yang cukup kuat tentang hal itu.
"Memang secara umum, di masa lalu, perempuan terpinggirkan dan disamakan dengan anak-anak dan manula karena begitulah aturan permainan orang dewasa sesuai dengan masanya. dan tempat tinggalnya Perubahanlah yang membuat pola pikir manusia berubah tentang hubungan yang setara dengan sesamanya. Tidak ada lagi seorang Kartini di masa kini. Anda camkan itu. Jangan jadikan Kartini yang nota bene adalah makhluk nostalgia sebagai budaya massal perempuan Indonesia dengan tujuan untuk mengkotak-kotakkan warga negara."
"Anda keliru. Ditengah masyarakat kita hingga kini sangat banyak perempuan-perempuan yang menderita sebagai Kartini, orang yang tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan dirinya karena pembatasan-pembatasan sosial yang ada."
"Tentang ketertinggalan perempuan di zaman ini, saya melihatnya dari perspektif yang berbeda dengan anda. Bukan pembatasan sosial yang membuat perempuan Indonesia tidak dapat mengembangkan dirinya akan tetapi faktor perempuannya sendiri. Pembatasan sosial ada dimana-mana namun setiap orang harus berjuang untuk keluar dari pembatasan sosial tersebut. Jika pembatasan sosial dijadikan kambing hitam atas terpuruknya  nasib perempuan Indonesia bagaimana anda bisa menjelaskan  pada saya bahwa ditengah pembatasan sosial itu ternyata ada saja  perempuan  yang bisa mengembangkan dirinya bahkan mencapai puncak karir setara dengan laki-laki?" Ia memberi tanda 'talk to the hand' yang mengisyaratkan ia tidak tertarik membahas tentang hal tersebut. Saatnya ganti topik pembicaraan tentunya.
"Pernyataan anda ini makin menguatkan adanya dugaan para ahli bahwa dalam diri ada ada ketidak konsistenan cara pikir. Disatu sisi anda mengatakan anda menjadi tuan atas diri anda sendiri, tapi disisi lain anda seperti takut tercerabut dari bawah dominasi kaum laki-laki....maksud saya..anda juga mau dijadikan selir.....maaf!!"
"Fakta itu benar bahwa dalam hidup perkawinan, saya adalah seorang selir! Tapi bukan berarti saya mendukung polygami. Saya hanya menghormati kebiasaan, adat istiadat yang tidak bisa saya ubah. Ada hal-hal dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa kita ubah tapi kita bisa mengubah cara berpikir manusia  dalam menilai sesuatu yang tidak dapat dirobah dalam masyarakat. Kalau anda benar-benar telah membaca buku saya, anda akan tau bahwa makna karya saya tersebut intinya adalah merubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap makhluk perempuan."
"Apakah anda selir yang berbahagia?"

Ia tercenung mendengar pertanyaan saya, lalu membuka lap topnya dan berkata:
"Anda pernah membaca karya Oscar Wilde berjudul 'The Picture of Dorian Gray"? Belum? Baiklah. Dalam novelnya ada pendapat dia yang mengunderestimate kaum  perempuan. Katanya: "Tdak ada perempuan yang jenius. Mereka hanyalah jenis makhluk yang indah. Mereka tidak mempunyai hal penting untuk disampaikan tapi mereka dapat menyampaikan hal remeh temeh dengan cara yang sangat menarik." Saat ini, saya tengah membuat naskah buku saya yang baru tentang kemampuan perempuan bermain dengan kosa kata sebagai suatu kekuatan dan kelebihan lain dari makhluk hidup yang tidak dimiliki oleh kaum lelaki.  Naskah buku tentang kemampuan bermain dengan kosa kata ini saya buat karena terinspirasi oleh kalimat Oscar Wilde tersebut.  Coba anda perhatikan fakta sosial, berapa banyak laki-laki yang takluk kehilangan logika pikirnya dan berlaku idiot hanya karena permainan kosa kata seorang perempuan?"
Saya sedikit mlongo, tidak menduga kalau Kartini yang saya jumpai pagi ini begitu cerdas sekaligus sinis!
Lalu dia melanjutkan, "Jika saya ditanya apakah saya selir yang berbahagia, saya akan memberi jawaban yang sangat menarik dengan bahasa yang indah sehingga laki-laki akan menafsirkan bahwa saya sangat berbahagia.  Kata-kata saya ini akan berpengaruh dalam mereka mengambil tindakan, karena pesan yang mereka tangkap dengan akal sehat otak chimpanse mereka adalah 'PEREMPUAN OKE-OKE SAJA KALAU DIMADU'. Lalu mereka akan berjuang meneruskan agar polygami dilanjutkan di Indonesia karena polygami sesungguhnya membuat wanita berbahagia."
"Bagaimana dengan wanita?" ujar saya kecewa.
"Berbeda dengan laki-laki, wanita tidak akan tertipu dengan manisnya kosa kata, karena wanita tidak hanya dapat mendengar dengan telinganya, tapi juga mendengar dengan hatinya. Seindah atau semanis apapun jawaban saya tentang apakah saya berbahagia sebagai selir, bungkusan kata-kata manis dan indah tidak akan pernah menipu perasaan wanita. Seorang perempuan akan tau bahwa saya sungguh-sungguh tidak berbahagia."

To be continued.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar