Rabu, 20 April 2011

Coffee Morning Dengan Kartini (Part I)

Kami sudah membuat janji untuk bertemu hari ini, di sebuah lobby hotel tua di kotaku yang terkenal dengan bangunan bergaya Art Deco. Pagi itu serasa lebih cerah dari biasanya meskipun awan kelabu berarak ke ufuk timur menutup cahaya matahari, menandai efek badai La Nina masih akan mengirimkan paket-paket hujan dan badai ke negeriku.

Ternyata dia sudah menungguku.
Duduk tenang seperti patung Budha tengah bermeditasi dipojok timur lobby, diantara dua buah pot berwarna putih dengan tanaman bougenville berwarna merah magenta. Ketika kakiku melangkah masuk ke dalam lobby tersebut, sosoknya kelihatan sebagai silluet yang kontras dengan merah meriahnya bougenville tersebut. Hhhmm...dari cara duduknya dan tempat yang dipilihnya, pastilah dia memiliki selera tersendiri dalam hal apapun, pikirku.
Ketika bertemu dengannya, aku merasa kaget melihat penampilannya. Betapa tidak, aku berusaha menghargai dirinya untuk pertemuan coffee morning ini dan sengaja mengenakan kebaya tradisionil. Karena tidak menyukai kebaya berbahan kain brokat prancis (yang dianggap menyimbolkan keglamoran), aku memilih memakai kebaya dari bahan katun warna white broken dengan bordiran kreasi anak bangsa dari Tanggulangin-Surabaya. Sedangkan padanannya adalah sarung batik jambi bernuansa merah cabai dengan motif durian pecah. Yang mungkin mewakili era modern adalah  sepatu pump  berwarna merah  yang aku pakai karena aku tidak memiliki kelom.
Tapi tampilan Kartini  jauh berbeda dengan photo-photonya yang aku lihat selama ini, yang mengenakan  kebaya klasik khas Jawa Tengah tempat ia berasal dengan jarik batik yang serba lawasan. Pagi ini  ia mengenakan kebaya modern dari batik Cirebon motif buketan berwarna cerah dipadukan dengan celana jeans biru denim! Aku melihat tasnya yang terletak diatas kursi disamping kirinya model etnik terbuat dari bahan batik Cirebon motif mega mendung warna merah saga berpadu biru cerah dan ia memakai sepatu high heels bertali berwarna kulit....Alamak!! Potongan rambutnya juga sangat modern. Jelas rambutnya tersebut di highlight dengan semir rambut berwarna burgundi dan dia buat sanggul kecil gaya french twist. Make up nya sempurna, tidak menor akan tetapi cukup elegan untuk menutupi garis-garis usia pada wajahnya. Yang lebih mengagetkannku, dihadapannya terbuka sebuah lap top mini teranyar berwarna merah, semerah bunga-bunga bougenville itu, semerah lipstick yang dipakainya dengan tulisan Ferrari dan didekatnya ada sebuah blackberry dengan cover berbalut taburan kristal swarosky. Lebih heboh lagi, ia mencat kukunya dengan warna biru indigo dan ada lukisan bunga-bunga yang blink-blink ditiap kuku tersebut.
Aku menarik nafas, ragu sejenak.
Apakah dia ini Kartini yang berjanji untuk coffee morning denganku pagi ini? Atau aku mendapati perempuan yang salah-error in persona?. Aku membuang pandanganku keseluruh lobby, mencari sosok Kartini yang aku bayangkan dan yang hanya ku kenal dari photo-photo yang ada padaku. Tapi pagi itu, lobby hotel masih sepi. Hanya ada kami berdua dan seorang laki-laki keturunan asing di dekat jendela yang asyik menikmati sinar matahari yang temaram sembari membaca koran. Melihat keraguanku, dia berdiri sembari menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri:
"Namaku Kartini. Kita berjanji jumpa ditempat ini, bukan?"
Aku tersipu, merasa lega dan menyambut uluran tangannya dan memperkenalkan diri.
Begitulah caranya aku bertemu dan berkenalan dengan Kartini untuk pertama kalinya, pada suatu pagi 21 April disebuah lobby hotel tua di kota kelahiranku.
 *****
Pertemuan kami hari itu tidak didesain hanya untuk sekedar minum kopi dan makan camilan ringan. Rencananya kami akan membicarakan tentang karya Kartini yang spektakuler berjudul: MENGGUGAT  DOMINASI LELAKI yang berisi banyak hal tentang kehidupan perempuan dalam masyarakat Indonesia . Namun tampaknya pembicaraan terjadi tanpa terencana sama sekali. Daftar wawancara yang telah aku persiapkan jauh-jauh hari tidak ada gunanya dan ia juga seakan-akan enggan membicarakan hal-hal yang bersifat masa lalu, padahal pertanyaan-pertanyaan yang akan aku ajukan adalah seputar sepak terjang dan perjuangannya di masa lalu.
"Apa yang kulakukan di masa lalu adalah milik masa lalu. Mengapa kita harus merujuk fenomena yang ada sekarang ke masa lalu? " protesnya lembut.
"Hukum dinamika akan melahirkan pandangan-pandangan baru tentang hakekat perempuan dan perannya dalam masyarakat. Mungkin saja pandangan baru tersebut berangkat dari nilai-nilai lama dan hal itu sah saja karena nilai-nilai dalam masyarakat idealnya bukanlah keabadian akan tetapi nilai yang tunduk pada hukum dinamika."
 
"Setahu saya anda tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hukum dinamika dan perubahan sosial dalam karya anda." kataku bernada mengoreksi.
"Memang tidak saya sebutkan secara terbuka. Karena karya saya yang dulu adalah gugatan saya akan kondisi yang saya alami dulu dan bagaimana saya menyuarakan aspirasi saya untuk merubah keadaan tersebut. Apa yang saya tulis dulu adalah semacam 'keluhan seorang anak perempuan' namun anda bisa lihat dan alami sendiri bukan, bagaimana sebuah keluhan yang sederhana begitu dahsyatnya mampu membuat suatu perubahan yang luar biasa  meskipun memakan waktu yang cukup lama. Karena itu, saya tidak akan membicarakan masa lalu saya dan pikiran saya dengan anda hari ini. Tapi tanyalah saya tentang kekinian yang ada tentang urusan perempuan dan akan saya jawab dari perspektif masa lalu saya." ujarnya bijak.
Saya kelabakan ditantang seperti itu. Terus terang tidak ada persiapan diluar dari daftar pertanyaan, yang sudah dipersiapkan. Sebagai seorang reporter yang belum berpengalaman saya merasa sedikit panik. Kembali saya menatap dirinya from head to toe dan entah mengapa komentar 'dungu' itu keluar dari mulut saya dan terekam dalam recorder saya:
"Tampilan diri anda tidak seperti apa yang tergambar dalam pikiran atau keluhan anda dalam karya anda dulu...Anda tampil tak terduga...is just not like Kartini.."
"Menurut anda, seharusnya Kartini itu bagaimana ?" Ia tertawa, "Tolong jangan menilai jalan pikiran atau nilai-nilai yang dianut oleh seorang wanita dari penampilannya. Terlebih lagi, jangan  pernah dikte penampilan dan isi otak seorang perempuan."
"Tentu saja penampilan seseorang lebih banyak berbicara, apalagi  anda adalah sosok wanita Indonesia yang telah menginspirasi jutaan perempuan di Indonesia untuk mengekspressikan diri dan  tentu saja mereka menjadikan anda sebagai role model diri mereka dari segi apapun." debat saya.
"Inilah kekeliruan berpikir bangsa Indonesia yang saya takutkan akan timbul atas penafsiran dari karya saya tersebut. Seharusnya perempuan di Indonesia menjadi diri mereka sendiri dengan tetap berpijak pada akar budaya mereka, sehingga perempuan Indonesia tidak gamang dengan diri mereka sendiri. Seperti saya, anda lihat kan? Saya menjadi diri saya sendiri, saya menentukan gaya saya sendiri, Saya adalah tuan atas diri saya sendiri. Inilah saya yang sebenarnya. Mengapa perempuan Indonesia mau menjadi kartini-kartini yang dia sendiri tidak mengenalnya secara pribadi dan hanya mengenalnya dari tulisannya belaka?" keluhnya dengan nada tinggi namun tidak mengurangi keanggunan sikapnya.
"Jangan salahkan perempuan Indonesia yang mengidentikkan dirinya dan menyebut diri mereka sebagai  kartini-kartini masa kini. Anda bertanggungjawab moral atas hal tersebut karena anda telah menjadi inspirasi hidup mereka sehingga mereka mengidentifikasikan diri mereka secara massal sebagai kartini-kartini masa kini."
"Di masa lalu, mungkin banyak kartini-kartini seperti saya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa tidak semua perempuan Indonesia berada dibawah dominasi laki-laki. Bagaimana dengan fakta sosial sistem kekerabatan matrelinial di Sumatera Barat yang mendudukkan perempuan sebagai dominator dalam kekerabatan dan pewarisan? Bagaimana dengan saudara saya Tjut Nyak Dhien yang segagah laki-laki mengangkat senjata melawan penjajah Belanda bersama-sama dengan suaminya di daerah Aceh sana? Apakah karena perempuan-perempuan yang bermukim  di bumi svarna dwiva sana lebih manusia daripada perempuan yang tinggal di pulau Jawa? Apakah bagi perempuan di Sumatera Barat atau di Aceh seorang  Kartini begitu berarti dan menginspirasi mereka dalam mencapai impiannya? Terlalu heroik sosok diri saya jika anda katakan mereka juga menjadikan saya sebagai role model mereka. Tentu saja tidak. Demikian pula, sosok Kartini adalah makhluk alien bagi perempuan di pelosok Papua sana, karena bagi mereka perempuan impian adalah sosok yang kuat secara fisik dan arif menyikapi perlakuan laki-laki. Apakah mereka mengenal saya? Apakah saya menjadi inspirasi mereka? Jawablah!" desaknya. Tentu saja saya tidak memiliki argumentasi yang cukup kuat tentang hal itu.
"Memang secara umum, di masa lalu, perempuan terpinggirkan dan disamakan dengan anak-anak dan manula karena begitulah aturan permainan orang dewasa sesuai dengan masanya. dan tempat tinggalnya Perubahanlah yang membuat pola pikir manusia berubah tentang hubungan yang setara dengan sesamanya. Tidak ada lagi seorang Kartini di masa kini. Anda camkan itu. Jangan jadikan Kartini yang nota bene adalah makhluk nostalgia sebagai budaya massal perempuan Indonesia dengan tujuan untuk mengkotak-kotakkan warga negara."
"Anda keliru. Ditengah masyarakat kita hingga kini sangat banyak perempuan-perempuan yang menderita sebagai Kartini, orang yang tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan dirinya karena pembatasan-pembatasan sosial yang ada."
"Tentang ketertinggalan perempuan di zaman ini, saya melihatnya dari perspektif yang berbeda dengan anda. Bukan pembatasan sosial yang membuat perempuan Indonesia tidak dapat mengembangkan dirinya akan tetapi faktor perempuannya sendiri. Pembatasan sosial ada dimana-mana namun setiap orang harus berjuang untuk keluar dari pembatasan sosial tersebut. Jika pembatasan sosial dijadikan kambing hitam atas terpuruknya  nasib perempuan Indonesia bagaimana anda bisa menjelaskan  pada saya bahwa ditengah pembatasan sosial itu ternyata ada saja  perempuan  yang bisa mengembangkan dirinya bahkan mencapai puncak karir setara dengan laki-laki?" Ia memberi tanda 'talk to the hand' yang mengisyaratkan ia tidak tertarik membahas tentang hal tersebut. Saatnya ganti topik pembicaraan tentunya.
"Pernyataan anda ini makin menguatkan adanya dugaan para ahli bahwa dalam diri ada ada ketidak konsistenan cara pikir. Disatu sisi anda mengatakan anda menjadi tuan atas diri anda sendiri, tapi disisi lain anda seperti takut tercerabut dari bawah dominasi kaum laki-laki....maksud saya..anda juga mau dijadikan selir.....maaf!!"
"Fakta itu benar bahwa dalam hidup perkawinan, saya adalah seorang selir! Tapi bukan berarti saya mendukung polygami. Saya hanya menghormati kebiasaan, adat istiadat yang tidak bisa saya ubah. Ada hal-hal dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa kita ubah tapi kita bisa mengubah cara berpikir manusia  dalam menilai sesuatu yang tidak dapat dirobah dalam masyarakat. Kalau anda benar-benar telah membaca buku saya, anda akan tau bahwa makna karya saya tersebut intinya adalah merubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap makhluk perempuan."
"Apakah anda selir yang berbahagia?"

Ia tercenung mendengar pertanyaan saya, lalu membuka lap topnya dan berkata:
"Anda pernah membaca karya Oscar Wilde berjudul 'The Picture of Dorian Gray"? Belum? Baiklah. Dalam novelnya ada pendapat dia yang mengunderestimate kaum  perempuan. Katanya: "Tdak ada perempuan yang jenius. Mereka hanyalah jenis makhluk yang indah. Mereka tidak mempunyai hal penting untuk disampaikan tapi mereka dapat menyampaikan hal remeh temeh dengan cara yang sangat menarik." Saat ini, saya tengah membuat naskah buku saya yang baru tentang kemampuan perempuan bermain dengan kosa kata sebagai suatu kekuatan dan kelebihan lain dari makhluk hidup yang tidak dimiliki oleh kaum lelaki.  Naskah buku tentang kemampuan bermain dengan kosa kata ini saya buat karena terinspirasi oleh kalimat Oscar Wilde tersebut.  Coba anda perhatikan fakta sosial, berapa banyak laki-laki yang takluk kehilangan logika pikirnya dan berlaku idiot hanya karena permainan kosa kata seorang perempuan?"
Saya sedikit mlongo, tidak menduga kalau Kartini yang saya jumpai pagi ini begitu cerdas sekaligus sinis!
Lalu dia melanjutkan, "Jika saya ditanya apakah saya selir yang berbahagia, saya akan memberi jawaban yang sangat menarik dengan bahasa yang indah sehingga laki-laki akan menafsirkan bahwa saya sangat berbahagia.  Kata-kata saya ini akan berpengaruh dalam mereka mengambil tindakan, karena pesan yang mereka tangkap dengan akal sehat otak chimpanse mereka adalah 'PEREMPUAN OKE-OKE SAJA KALAU DIMADU'. Lalu mereka akan berjuang meneruskan agar polygami dilanjutkan di Indonesia karena polygami sesungguhnya membuat wanita berbahagia."
"Bagaimana dengan wanita?" ujar saya kecewa.
"Berbeda dengan laki-laki, wanita tidak akan tertipu dengan manisnya kosa kata, karena wanita tidak hanya dapat mendengar dengan telinganya, tapi juga mendengar dengan hatinya. Seindah atau semanis apapun jawaban saya tentang apakah saya berbahagia sebagai selir, bungkusan kata-kata manis dan indah tidak akan pernah menipu perasaan wanita. Seorang perempuan akan tau bahwa saya sungguh-sungguh tidak berbahagia."

To be continued.....

Selasa, 19 April 2011

SEBELUM DINI HARI

Laki-laki itu duduk tapakur diatas dipan kayu yang sudah hitam mengkilat dimakan waktu di sebuah sel buram berukuran 2 x 1,5 meter. Ia merenung dan menerka-nerka jenis kayu apa gerangan dipan tersebut. Menerka-nerka sudah berapa banyak orang seperti dia yang duduk diatas dipan itu menunggu dini hari tiba? Mungkin ada yang menunggu dengan hati lega dan pasrah. Tapi ada juga yang menunggu dengan perasaan gelisah, takut, marah dan dendam.
 Ia menarik nafas dalam-dalam.Menimbang-nimbang perasaannya sendiri. Apakah ia marah? Apakah ia dendam atau justru merasa lega? Ia tak dapat menjawabnya. Yang pasti ketika sipir penjara menanyakan apa makan malam terahir yang diinginkannya ia menyebutkan tanpa berpikir panjang lagi: “Gulai pakis ”
Sipir penjara menatapnya aneh, seakan-akan ia baru saja minta dihidangkan makanan para sultan. Lima jam kemudian, tepat ketika bayang-bayang sinar matahari yang redup membentuk bayangan memanjang seperti sebuah terali besi di dinding selnya, makanan terahirnya dihidangkan. Sepiring nasi putih yang masih hangat (biasanya selalu dingin dan berkerak. Kadang-kadang kurang tanak atau sedikit basi), sepotong ayam goreng bumbu lengkuas dengan sambal rawit, segelas teh manis hangat dan semangkuk kecil gulai pakis!Kejutan kecil lainnya, kali ini semua makanan ini dihidangkan secara beradab diatas sebuah nampan aluminium tua.
Ia menatap makan malam terahirnya dengan berbagai perasaan. Menatap semangkuk gulai pakis sebagai makanan terahirnya yang terhidang dengan sedikit lebih terhormat dari biasanya membuat hatinya tersentuh perasaan haru. Tatkala ia mulai mencicipi gulai pakis itu, kenangan bertahun-tahun yang lalu menjenguk benaknya...... ketika ia duduk dibalai-balai kayu di depan rumahnya sembari menikmati makan malam ditemani emak dan sayup-sayup terdengar suara debur ombak yang bersahutan dengan suara orang mengaji dari surau tua dikejauhan. Sungguh suatu melodi malam yang religius dan menggugah rasa haru.
Gulai pakis yang terhidang saat ini diberi kuah santan dan rasanya sedikit anyep. (Ah tidak semua orang bisa mengolah tanaman jenis semak-semak itu menjadi gulai yang lezat seperti emak. Ia mahfum benar fakta itu sekarang.) Gulai pakis buatan emaknya tidak berkuah santan tapi emak mengolahnya dengan kelapa muda parut yang digongseng terlebih dahulu, ditambah ikan teri segar yang baru dijaring oleh ayahnya dari laut. Rasanya nikmat luar biasa. Setiap kali emak menggulai pakis untuk makan malam mereka, itu pertanda ada sedikit uang, ada harapan untuk hidup esok.
Ia ingat, gulai pakis bagi dia ketika kecil adalah simbol perayaan menjadi solven lagi. Artinya, seminggu kedepan mereka akan makan nasi sampai ayahnya kembali pulang kerumah dari melaut. Ayahnya bersama seorang abangnya yang masih berumur sepuluh tahun bekerja di sebuah jermal ditengah laut. Kadang-kadang ayah pulang seminggu sekali, tapi si abang sejak dibawa ayah bekerja ke jermal tidak pernah dibawa pulang. Kata ayah, tenaga abang lebih diperlukan daripada tenaga ayah di jermal itu.Waktu itu ia masih berumur tujuh tahun dan ia sangat ingin pergi bersama ayahnya ke jermal. Ia sangat ingin tahu apa yang dikerjakan orang di jermal ditengah laut sana sehingga si abang sangat betah tinggal disana dan tak pernah ikut pulang untuk menikmati gulai pakis lezat buatan emak.
Akan tetapi suatu hari ayahnya pulang dari jermal membawa abang. Ia sangat terkejut melihat kondisi abang yang sangat mengenaskan. Ketika berangkat dengan ayah tujuh bulan yang lalu, tubuh abang cukup berisi. Kulitnya berkilat-kilat sehat dan rambutnya hitam dan lebat. Tapi setelah tujuh bulan bekerja di jermal, tubuh abang tinggal rangka. Kulitnya berkerut-kerut dan penuh kudis bernanah, rambutnya rontok dan kepalanya juga penuh borok. Matanya yang dulu penuh cahaya kini menjadi cekung dan sedih. Ia dan emak tidak sanggup berbicara melihat kondisi abang. Yang paling menyedihkan, sepasang kaki abang yang dulu cekatan memanjat kelapa dan mengambil buahnya setiap kali emak membutuhkan untuk membuat gulai pakis atau gulai kepiting batu, kini kedua kaki itu terkulai layu. Ia melihat ada bekas parut di betis kanan abang. Sepertinya bekas luka bakar yang parah. Emak hanya menangis tersedu-sedu. Ayah duduk resah di dekat jendela sembari menghisap rokok daun nipahnya. Ia sembunyi-sembunyi melihat abang tergolek seperti seonggok jaring ikan yang sobek-sobek diatas dipan. Hari itu, tidak seperti biasanya, emak tidak memasak gulai pakis.
*****

Sejak peristiwa abang kembali dari jermal, emak tidak pernah lagi memasak gulai pakis. Dan ia pun tidak pernah berani meminta meskipun ia sangat menginginkannya.

Ia kembali menyuap gulai pakis kemulutnya bersama nasi. Ia tak menyentuh paha ayam goreng yang dihidangkan. Gulai pakis makanan terahirnya ini tidak memiliki kenikmatan rasa seperti masakan emak, tapi setiap suapannya mampu membawanya kembali kemasa lalu. Setiap suapan gulai pakis mengingatkannya pada mata dalam emaknya yang selalu basah oleh air mata. Sebulan setelah abang pulang ke rumah secara mendadak ayahnya pergi melaut pada tengah malam. Ia dengar suara tangis emaknya memohon dan menggumamkan sesuatu tapi ayah tetap pergi. Kata-kata terahir ayah yang didengarnya dengan jelas adalah,” Manusia wajib membela haknya.”
Ayah tak pernah kembali sejak saat itu.Abang hanya terbaring tak berdaya dan bahkan ia menjadi bisu dan tuli. Setelah ia cukup besar ia baru  mengetahui bahwa abang menjadi cacat karena selama bekerja di jermal ia mengalami malnutrisi akut, mendapat siksaan fisik dan terserang penyakit yang mematikan. Tapi ketika ayah hendak membawanya pulang, Tokeh jermal tidak membenarkan kecuali jika ayah melunasi pinjamannya kepada Tokeh jermal. Emak tidak pernah mau mengatakan kemana ayahnya pergi malam itu, untuk apa ia pergi pada tengah malam buta dan kenapa ia tidak pernah kembali.
 Kepergian ayahnya menjadi misteri gelap dalam kehidupan remajanya. Justru misteri gelap itu terkuak dari cerita-cerita nelayan tua yang sudah tidak lagi melaut yang pekerjaannya hanya memperbaiki jaring di seputar tepi dermaga atau mangkal seharian menghabiskan sisa hidup di kedai mak Zenab. Ternyata, malam itu ayah pergi melakukan perhitungan dengan Tokeh jermal. Tapi ayah hanya seorang sendiri sedangkan Tokeh jermal dikelilingi oleh banyak tukang pukul berpakaian hijau atau loreng-loreng. Menurut cerita-cerita nelayan tua yang dituturkan dari mulut kemulut dengan suara setengah berbisik, ayahnya disandera jadi budak di jermal itu. Bekerja siang malam tanpa istirahat. Jangan-jangan ia sudah mati dan dicampakkan ke laut sana. Siapa tahu?~Sudah bertahun-tahun berlalu. Begitulah ia mencuri-curi dengar setiap kali para nelayan tua membicarakan ayahnya dengan wajah berduka.
Hingga suatu hari, ketika ia sedang bekerja sebagai buruh bangunan proyek sebuah villa ditepi pantai ia melihat seorang lelaki tambun keluar dari sebuah mobil merah dikawal oleh tiga orang lelaki bertubuh kekar dengan tampang menyeramkan. Temannya mengatakan bahwa lelaki tambun dengan wajah berminyak itu adalah yang empunya proyek. Dia tidak hanya kaya raya tapi juga orang kuat di sepanjang pesisir pantai. Polisi dan tentara saja segan dan tunduk padanya karena ia sangat royal dan bermurah hati pada mereka. Bahkan, kononnya tiga lelaki yang mengawalnya tersebut adalah anggota tentara.
“Aku tidak mengenalnya.Tak pernah.” Ujarnya perlahan.
“Bodoh! Semua orang kenal Babah. Jermal terbesar dilaut itu dia yang punya.” Ujar temannya.
“Jermal terbesar dilaut itu dia yang punya.” Kalimat itu tiba-tiba menggema di kepalanya, membentur-bentur otaknya, membuat ia berusaha mengingat-ngingat ayahnya yang sayangnya tak begitu dingatnya wajahnya karena waktu itu ia masih sangat kecil. Sepuluh tahun yang lalu dan sekarang ia sudah tujuh belas tahun. Pagi hari, sebelum berangkat kerja ibu memberinya minuman istimewa dari kelapa muda dicampur dengan gula merah dan perahan jeruk nipis harum. Kata ibunya hari ini ia genap tujuh belas tahun.

Tujuh belas tahun. Sudah sepuluh tahun ayah pergi ke jermal pada tengah malam untuk menjumpai Babah si tokeh jermal dan hingga kini belum kembali.

Tiba-tiba kepalanya serasa sakit luar biasa dan otaknya serasa mendidih.Ia mengangkat palu yang digunakan untuk memecahkan batu. Seperti mimpi ia mendekati Babah yang sedang santai beristirahat dikursi malas membelakanginya dibawah tenda. Sementara ketiga pengawalnya asyik bermain kartu tidak jauh dari Babah.
Seperti mimpi, ia melihat ayah berdiri dikejauhan, melambai tapi ia membuang muka dari ayahnya. Seperti mimpi ia melihat abang tergolek seperti benda mati diatas dipan dan sekelebat bayangan wajah emak yang matanya selalu berkaca-kaca. Sesaat, ia melihat sebuah batu besar dihadapannya, batu karang untuk bangunan villa mewah yang harus dihancurkannya dan untuk itu ia dibayar sepuluh ribu rupiah setiap hari. Ia menghantam dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati. Terdengar jeritan menakutkan, darah hangat memercik wajahnya, otak berwarna putih yang berhamburan lengket ditangannya. Tapi ia terus memecah batu, terus memecah dan memecah hingga sesuatu yang panas menembus kulit pahanya dan ia merasa tiba-tiba capai lalu berhenti.

Koran-koran memberitakan Pengadilan menjatuhkan hukuman mati karena ia membunuh seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani bernama Babah beserta dua orang anggota tentara sahabat Babah yang selama ini sangat berjasa menjaga keamanan disekitar pantai pesisir. Ia masih berumur tujuh belas tahun dan psikiater yang diminta untuk memeriksanya memberi opini bahwa dia baik-baik saja. Sangat waras.
.
*****
Gulai pakisnya telah habis. Yang tinggal hanya paha ayam dan sambal cabai rawit. Ia minum segelas teh manis lalu meminggirkan nampan berisi makanan terahirnya. Hari telah larut. Diluar ia dapat merasakan udara dingin menggigit dan beberapa ekor anjing kampung disekitar penjara itu melolong-lolong sepi. Ia tidak pernah memiliki jam dan tidak tahu jam berapa saat ini. Namun ketika ia mendengar kokok ayam dikejauhan dan gemerincing kunci serta langkah-langkah sepatu lars, ia tahu bahwa dini hari telah tiba. Ia pandang lagi mangkuk kecil berisi sisa kuah gulai pakis, makanan terahir yang dimintanya. Ia tersenyum, mengingat wajah sendu emaknya dan matanya yang selalu berkaca-kaca dan sosok abang yang tubuhnya terus mengecil seiring berjalannya waktu, yang tergolek tak berdaya diatas dipan kayu di beranda rumahnya. Ia ingat kata-kata terahir ayahnya, “Manusia wajib membela haknya.” Kata-kata itu sekarang serasa begitu jelas di telinganya, meskipun ia tidak pernah paham maknanya.
Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika berjalan meninggalkan selnya, melangkah keluar penjara yang dingin pada dini hari. Ia tau, sesuatu sedang menunggunya diluar sana.
Ketika hidup tidak memiliki makna, matipun merupakan hal yang biasa.
Ia tersenyum sendiri mengingat kalimat yang diukirnya di dipan kayu di dalam sel yang ditinggalkannya yang tak kan lagi ia pernah kembali ke situ.

Malaikat Keadilan Menggebrak Fallacy

Gerakan RENCANA PESERTA AKSI HAKIM INDONESIA MENGGUGAT PRESIDEN DAN DPR RI yang diprakarsai oleh seorang hakim wanita merupakan suatu gerakan fenomenal yang patut kita kenangkan dalam menyambut peringatan Hari Kartini yang akan jatuh pada tanggal 21 April. Adanya ide dari ibu hakim dari Yogyakarta berinisial AN telah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan termasuk kalangan hakim sendiri. Gerakan ini juga mengangkat issue bernada 'dagelan' tentang GAJI WAKIL RAKYAT yang LEBIH BESAR dengan GAJI WAKIL TUHAN. Gerakan ini juga membuat gerah beberapa anggota legislatif yang dengan santai berkomentar :" Gaji hakim di Indonesia belum pantas dinaikkan karena kinerja belum bagus." 
Mendengar komentar tersebut saya merasa kagum, wow...gimana caranya dia menilai kinerja hakim se Indonesia belum bagus ya? Apakah anggota dewan yang mulia dan terhormat itu telah melakukan suatu penelitian yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dia bisa berpendapat  tentang pantas tidaknya hakim diberi kenaikan gaji?
Terlepas dari adanya tanggapan kontra yang mengatakan "HAKIM TIDAK PANTAS BERDEMO MENUNTUT HAKNYA", saya pribadi mendukung gerakan ini dengan berbagai-bagai alasan:

1. Hakim juga manusia
Telah terjadi fallacy berpikir yang menjadi tragedi bagi hakim. Hakim di Indonesia sudah 'terlanjur basah' digolongkan sebagai makhluk suci ciptaan Tuhan yang diberi amanah memegang 'pedang keadilan' dan karenanya hakim di Indonesia digadang-gadang sebagai 'Malaikat Keadilan' yang dimuliakan. Di Indonesia, HAKIM dikotakkan sebagai makhluk semacam DISTRIBUTOR KEADILAN. Tapi ternyata pemberian stigma hakim sebagai makhluk 'istimewa yang digelari MALAIKAT KEADILAN' bukannya mengangkat drajat hakim itu sendiri malahan menjadi pedang yang  telah  menikam jantung si hakim itu sendiri. Mengapa? Karena negara, masyarakat, para eksekutif, para legislator yang mulia 'terlanjur basah' telah mempreteli KEMANUSIAAN sang hakim. 
Bagi masyarakat, hakim bukan lagi terdiri dari sepotong daging, darah, jiwa yang memiliki kehendak, keperluan dan keinginan. Hakim tidak kawin-mengawinkan sehingga memiliki keluarga yang perlu dinafkahi  dan hakim juga punya putra dan putri yang perlu disekolahkan. Singkat kata, kita lupa bahwa hakim juga punya cita-cita, punya impian untuk buah hatinya. 
Kealpaan bangsa kita akan sisi kemanusiaan hakim terbukti dari tidak didukungnya jabatan hakim dengan fasilitas yang layak seperti penggajian. Terus terang, penggajian hakim di Indonesia  didesain seperti menggaji para buruh di pabrik dengan cara menghitung jam kerja yang dilakukan oleh sebuah mesin untuk menghitung out put kinerja hakim sehari itu. Jika hakim terlambat masuk, remunerasinya (yang tidak seberapa dan dicicil pula 70% sudah hampir tiga tahun) akan kena potongan 1%, kalau absen kena 5%. Belum lagi kalau sakit. Makanya hakim diseluruh Indonesia wajib hukumnya berdoa diberi kesehatan saja, tidak usah kekayaan, karena kalau sakit, remunerasinya akan habis dan ia hanya akan memperoleh gaji.
Oleh karena hakim Indonesia masih manusia biasa, tentunya dia berhak mengeluarkan aspirasinya sebagai warga negara untuk menuntut haknya. Hak untuk mengeluarkan pendapat sudah dijamin 100% dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen. 

2.Memperdengarkan Suara
Sebagian kalangan, terutama dari kalangan hakim sendiri, ada yang merasa 'malu dan gerah' dengan gerakan tersebut karena dinilai terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan imej hakim sebagai seorang abdi negara. yang arif lagi bijaksana yang keseharian hidupnya melafalkan 'kode etik' hakim. HAKIM HARUS STAY COOL, NO MATTER WHAT. HAKIM HARUS MENGAMALKAN HIDUP SEDERHANA. HAKIM HARUS MENJAGA MARTABAT DIRINYA. Begitulah kira-kira dalil pakem yang mereka terapkan untuk hakim. Pendapat yang kontra pada gerakan ini jelas berakar dari fallacy berpikir bangsa Indonesia yang telah saya sebutkan diatas yaitu mengabaikan sisi kemanusiaan hakim. TERLANJUR BASAH MENGIDEALKAN HAKIM SEBAGAI MALAIKAT KEADILAN. Seperti kita mahfum, MALAIKAT bukan MANUSIA.
Gerakan ini justru membuka tabir gelap selama ini yang menutupi sosok para hakim. Gerakan ini merupakan suatu pengakuan yang jujur dari hakim sendiri yang ahirnya berteriak lantang MENELANJANGI DIRINYA SENDIRI dengan mengingatkan kita semua bahwa mereka juga manusia. TOLONG INGAT ITU!.JANGAN JADIKAN KAMI MALAIKAT KEADILAN YANG BOKEK!
Mengapa sampai menempuh jalan yang lazimnya ditempuh oleh para buruh dengan cara demonstrasi?
  • Mungkin karena institusi yang seyogyanya memperjuangkan kesejahteraan hakim seperti KY tidak menyadari keadaan ini karena sibuk membangun pencitraan sebagai the Judges' Watchdog yang giat menjaring hakim-hakim 'kelaparan' yang 'nakal' untuk dipertontonkan kepada masyarakat.
  • Mungkin karena aspirasi untuk mensejahterakan hakim tidak memiliki bentuk yang jelas. Karenanya demonstrasi dan mengajukan gugatan adalah salah satu cara yang paling legal untuk ditempuh.

Ahirnya, kita memberi applaus kepada ibu hakim yang memprakarsai gerakan ini. Terlepas gerakan ini nantinya memberikan hasil atau tidak, akan tetapi 'gebrakan' yang dibuatnya sudah cukup menyadarkan bangsa ini bahwa Hakim juga MANUSIA. JANGAN LUPAKAN ITU!
Catatan:
Karena konon katanya demonstrasi iuntuk menyampaikan aspirasi itu tidak sopan dan vulgar, maka saya menyampaikan aspirasi saya dengan cara yang lebih 'elegan' yaitu: MENULIS. Mohon maaf kalau ada kalimat yang menyinggung rasa keterhormatan diri pembaca.
SELAMAT MENYAMBUT HARI KARTINI!

DANAU (Episode Cita Yang Hilang)

Danau ini dulunya pasti punya nama. Sama seperti dirinya, diberi nama tanpa diberi kesempatan untuk memilih sendiri namanya. Ia mengingat-ingat namanya sendiri, Aisyah.  Begitulah mereka memanggilnya. Orang tuanya memaknai namanya tersebut dengan sederet doa putih agar kelak ia bisa menjadi perempuan sholeh yang membahagiakan suaminya menurut teladan istri nabi mereka.

Senin, 18 April 2011

Menguji Asas Praduga (Tak) Bersalah



Tell me not in mournful numbers/live is but an empty dream?/ for the soul is dead that slumbers/and things are not what they seem .
(Henry Wardsworth Longfellow: A Psalm of Live)


Penggalan puisi klasik dari Longfellow tersebut diatas secara puitis dapat menggambarkan adanya penyimpangan eksistensi dari asas praduga tak bersalah di ranah hukum Indonesia. Ahir-ahir ini sejarah perjalanan penerapan asas praduga tidak bersalah di bidang penegakan hukum di Indonesia seperti sebuah biografi anak manusia yang kehilangan jati dirinya karena kehilangan rumahnya. Sebagai salah satu pilar utama dari prinsip due process of law yang berlaku secara universal di dunia belahan manapun tanpa membedakan sistem hukum suatu negara, asas praduga tak bersalah (presume of innocence) sejatinya merupakan pembatas linier dari kesewenang-wenangan hukum sekaligus sebagai kawal terdepan dari perlindungan hak asasi manusia.  Prinsip yang dikandungnya sejak dilahirkan adalah bahwa seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum diputuskan bersalah oleh pengadilan.
Namun di Indonesia, berbagai peristiwa hukum pidana murni maupun peristiwa pidana bernuansa politis yang terjadi telah menempatkan asas praduga tak bersalah pada titik terkritis dalam sejarah penerapannya. Efek domino dari euforia keterbukaan informasi dan kebebasan mengemukakan pendapat membuat  suatu peristiwa hukum seperti saham blue chips yang dilepaskan ke pasar bebas untuk dibahas oleh berbagai ahli hukum maupun para pihak yang (mengaku) mengerti hukum. Dalam konteks keterbukaan untuk menyuarakan opini tersebut, asas praduga tak bersalah telah dimaknai dengan penafsiran yang sarat dengan kepentingan kelompok.
 Kasus suap Anggodo kepada Ketua KPK Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah menjadi landmark contoh kasus yang telah menempatkan asas praduga tak bersalah pada posisi paling kritis dalam sejarah perjalanan penerapannya di Indonesia. Kala itu Presiden Susilo  Bambang Yudoyono secara tersirat menghendaki kasus tersebut dihentikan dengan berbagai pertimbangan yang dinilai bersifat non juridis oleh kubu yang bersuara keras mengusung asas equality before the law yang menghendaki hukum diterapkan pada setiap orang tanpa kecuali. Debat berkepanjangan kasus Bibit dan Chandra yang dikemas dalam paket “Cecak vs Buaya” ini bergulir begitu panasnya dan menguras emosi dan simpati publik di media massa, baik media cetak maupun elektronik hingga ke jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Opini-opini yang dikemukakan di ruang publik tanpa filter ini kemudian diskonsumsi secara terbuka oleh seluruh rakyat Indonesia dan melahirkan pesan virtual bahwa kasus Bibit dan Chandra adalah rekayasa dan mereka tidak bersalah karena tidak terbukti menerima suap dari Anggodo.
Sayang sekali, opini publik tentang kasus suap ini sebagai rekayasa dan Bibit dan Chandra tidak bersalah terbentuk tanpa pernah diuji sebagaimana mestinya di Pengadilan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menentukan bersalah tidaknya seseorang. Kasus Bibit dan Chandra ahirnya diahiri dengan manis dengan sebuah kata magic “diponeering” dan asas praduga tak bersalah seakan-akan kehilangan makna magisnya. Kasus Bibit dan Chandra ini menjadi contoh bahwa asas praduga tak bersalah secara keliru telah dimaknai bukan lagi dalam konteks yang sebenarnya dan ditempat yang sebenarnya yaitu di pengadilan, akan tetapi melalui suatu trail by the press atau trail by the mass yang tidak memiliki landasan hukum. 

Eksistensi asas praduga tak bersalah kembali diuji dalam peristiwa penolakan kehadiran Ketua KPK Bibit dan Chandra oleh Komisi III DPR dalam rapat kerja pada tanggal 31 Januari 2011. Dalam peristiwa itu, Komisi III DPR kembali menyoal status hukum kedua pimpinan KPK tersebut dan berpendapat bahwa status deponeering secara hukum telah menempatkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka seumur hidup. Terlepas dari ada dugaan bernuansa politis bahwa penolakan ini sebagai upaya serangan balik DPR kepada KPK sehubungan dengan penahanan 19 politisi karena diduga terlibat dalam kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom, pernyataan ini ada benarnya. Tindakan deponeering adalah proses hukum sekaligus administrasi hukum untuk mengesampingkan suatu perkara dituntut ke pengadilan. Namun tindakan deponeering tidak menimbulkan status hukum tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan tersangka tidak bersalah.

Trend terbaru bentuk ujian lainnya terhadap asas praduga tak bersalah juga tergambar dalam program Jakarta Lawyer Club yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta TV One pada tanggal 1 Februari 2011. Dalam acara tersebut, para host secara vokal menyuarakan aspirasinya tentang peristiwa penangkapan 19(sembilan belas) politisi tersebut. Pembahasan bahkan sudah mencakup materi hukum yang harusnya diserahkan kepada instansi penegak hukum yang berwenang untuk itu. Memang kasus gratifikasi atau suap adalah suatu tindak pidana kolaborasi antara pemberi suap dan penerima suap. Perbuatan dimulai dari adanya tindakan dari pemberi suap dan perbuatan gratifikasi menjadi sempurna dengan diterimanya suap tersebut. Sayangnya, dalam kasus ini yang terang benderang bagi KPK adalah para penerima suap. Sedangkan si mister X selaku pemberi suap masih menjadi mistery guess dalam perburuan KPK. Namun kondisi ini tidak serta merta dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk menyatakan para tersangka tidak bersalah secara hukum. Status mereka berada dibawah perlindungan asas praduga tak bersalah, terlepas dari si pemberi suap belum ditemukan.

Membahas suatu peristiwa hukum di layar kaca yang sebenarnya bersifat infotainment  sangat rentan berubah menjadi ajang trial by the press yang dapat mencederai fungsi dari asas praduga tak bersalah. Sayangnya, dalam tayangan tersebut tak seorangpun yang berusaha mengembalikan asas praduga tak bersalah ke rumahnya yang sebenarnya di Pengadilan. Pendapat yang menyatakan telah terjadi error in persona atau penahanan sebagai tindakan yang prematur harus diuji sepenuhnya di pengadilan. Karenanya, penyidikan tetap berlangsung demi penghormatan kita pada due process of law dengan menempatkan asas praduga tak bersalah untuk melindungi para tersangka dari segala penghakiman oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kekuasaan kehakiman untuk mengadili.  Mari kita kembalikan pengujian asas praduga tak bersalah ke rumahnya yang sebenarnya di pengadilan.

********