Laki-laki itu duduk tapakur diatas dipan kayu yang sudah hitam mengkilat dimakan waktu di sebuah sel buram berukuran 2 x 1,5 meter. Ia merenung dan menerka-nerka jenis kayu apa gerangan dipan tersebut. Menerka-nerka sudah berapa banyak orang seperti dia yang duduk diatas dipan itu menunggu dini hari tiba? Mungkin ada yang menunggu dengan hati lega dan pasrah. Tapi ada juga yang menunggu dengan perasaan gelisah, takut, marah dan dendam.
Ia menarik nafas dalam-dalam.Menimbang-nimbang perasaannya sendiri. Apakah ia marah? Apakah ia dendam atau justru merasa lega? Ia tak dapat menjawabnya. Yang pasti ketika sipir penjara menanyakan apa makan malam terahir yang diinginkannya ia menyebutkan tanpa berpikir panjang lagi: “Gulai pakis ”
Sipir penjara menatapnya aneh, seakan-akan ia baru saja minta dihidangkan makanan para sultan. Lima jam kemudian, tepat ketika bayang-bayang sinar matahari yang redup membentuk bayangan memanjang seperti sebuah terali besi di dinding selnya, makanan terahirnya dihidangkan. Sepiring nasi putih yang masih hangat (biasanya selalu dingin dan berkerak. Kadang-kadang kurang tanak atau sedikit basi), sepotong ayam goreng bumbu lengkuas dengan sambal rawit, segelas teh manis hangat dan semangkuk kecil gulai pakis!Kejutan kecil lainnya, kali ini semua makanan ini dihidangkan secara beradab diatas sebuah nampan aluminium tua.
Ia menatap makan malam terahirnya dengan berbagai perasaan. Menatap semangkuk gulai pakis sebagai makanan terahirnya yang terhidang dengan sedikit lebih terhormat dari biasanya membuat hatinya tersentuh perasaan haru. Tatkala ia mulai mencicipi gulai pakis itu, kenangan bertahun-tahun yang lalu menjenguk benaknya...... ketika ia duduk dibalai-balai kayu di depan rumahnya sembari menikmati makan malam ditemani emak dan sayup-sayup terdengar suara debur ombak yang bersahutan dengan suara orang mengaji dari surau tua dikejauhan. Sungguh suatu melodi malam yang religius dan menggugah rasa haru.
Gulai pakis yang terhidang saat ini diberi kuah santan dan rasanya sedikit anyep. (Ah tidak semua orang bisa mengolah tanaman jenis semak-semak itu menjadi gulai yang lezat seperti emak. Ia mahfum benar fakta itu sekarang.) Gulai pakis buatan emaknya tidak berkuah santan tapi emak mengolahnya dengan kelapa muda parut yang digongseng terlebih dahulu, ditambah ikan teri segar yang baru dijaring oleh ayahnya dari laut. Rasanya nikmat luar biasa. Setiap kali emak menggulai pakis untuk makan malam mereka, itu pertanda ada sedikit uang, ada harapan untuk hidup esok.
Ia ingat, gulai pakis bagi dia ketika kecil adalah simbol perayaan menjadi solven lagi. Artinya, seminggu kedepan mereka akan makan nasi sampai ayahnya kembali pulang kerumah dari melaut. Ayahnya bersama seorang abangnya yang masih berumur sepuluh tahun bekerja di sebuah jermal ditengah laut. Kadang-kadang ayah pulang seminggu sekali, tapi si abang sejak dibawa ayah bekerja ke jermal tidak pernah dibawa pulang. Kata ayah, tenaga abang lebih diperlukan daripada tenaga ayah di jermal itu.Waktu itu ia masih berumur tujuh tahun dan ia sangat ingin pergi bersama ayahnya ke jermal. Ia sangat ingin tahu apa yang dikerjakan orang di jermal ditengah laut sana sehingga si abang sangat betah tinggal disana dan tak pernah ikut pulang untuk menikmati gulai pakis lezat buatan emak.
Akan tetapi suatu hari ayahnya pulang dari jermal membawa abang. Ia sangat terkejut melihat kondisi abang yang sangat mengenaskan. Ketika berangkat dengan ayah tujuh bulan yang lalu, tubuh abang cukup berisi. Kulitnya berkilat-kilat sehat dan rambutnya hitam dan lebat. Tapi setelah tujuh bulan bekerja di jermal, tubuh abang tinggal rangka. Kulitnya berkerut-kerut dan penuh kudis bernanah, rambutnya rontok dan kepalanya juga penuh borok. Matanya yang dulu penuh cahaya kini menjadi cekung dan sedih. Ia dan emak tidak sanggup berbicara melihat kondisi abang. Yang paling menyedihkan, sepasang kaki abang yang dulu cekatan memanjat kelapa dan mengambil buahnya setiap kali emak membutuhkan untuk membuat gulai pakis atau gulai kepiting batu, kini kedua kaki itu terkulai layu. Ia melihat ada bekas parut di betis kanan abang. Sepertinya bekas luka bakar yang parah. Emak hanya menangis tersedu-sedu. Ayah duduk resah di dekat jendela sembari menghisap rokok daun nipahnya. Ia sembunyi-sembunyi melihat abang tergolek seperti seonggok jaring ikan yang sobek-sobek diatas dipan. Hari itu, tidak seperti biasanya, emak tidak memasak gulai pakis.
*****
Sejak peristiwa abang kembali dari jermal, emak tidak pernah lagi memasak gulai pakis. Dan ia pun tidak pernah berani meminta meskipun ia sangat menginginkannya.
Ia kembali menyuap gulai pakis kemulutnya bersama nasi. Ia tak menyentuh paha ayam goreng yang dihidangkan. Gulai pakis makanan terahirnya ini tidak memiliki kenikmatan rasa seperti masakan emak, tapi setiap suapannya mampu membawanya kembali kemasa lalu. Setiap suapan gulai pakis mengingatkannya pada mata dalam emaknya yang selalu basah oleh air mata. Sebulan setelah abang pulang ke rumah secara mendadak ayahnya pergi melaut pada tengah malam. Ia dengar suara tangis emaknya memohon dan menggumamkan sesuatu tapi ayah tetap pergi. Kata-kata terahir ayah yang didengarnya dengan jelas adalah,” Manusia wajib membela haknya.”
Ayah tak pernah kembali sejak saat itu.Abang hanya terbaring tak berdaya dan bahkan ia menjadi bisu dan tuli. Setelah ia cukup besar ia baru mengetahui bahwa abang menjadi cacat karena selama bekerja di jermal ia mengalami malnutrisi akut, mendapat siksaan fisik dan terserang penyakit yang mematikan. Tapi ketika ayah hendak membawanya pulang, Tokeh jermal tidak membenarkan kecuali jika ayah melunasi pinjamannya kepada Tokeh jermal. Emak tidak pernah mau mengatakan kemana ayahnya pergi malam itu, untuk apa ia pergi pada tengah malam buta dan kenapa ia tidak pernah kembali.
Kepergian ayahnya menjadi misteri gelap dalam kehidupan remajanya. Justru misteri gelap itu terkuak dari cerita-cerita nelayan tua yang sudah tidak lagi melaut yang pekerjaannya hanya memperbaiki jaring di seputar tepi dermaga atau mangkal seharian menghabiskan sisa hidup di kedai mak Zenab. Ternyata, malam itu ayah pergi melakukan perhitungan dengan Tokeh jermal. Tapi ayah hanya seorang sendiri sedangkan Tokeh jermal dikelilingi oleh banyak tukang pukul berpakaian hijau atau loreng-loreng. Menurut cerita-cerita nelayan tua yang dituturkan dari mulut kemulut dengan suara setengah berbisik, ayahnya disandera jadi budak di jermal itu. Bekerja siang malam tanpa istirahat. Jangan-jangan ia sudah mati dan dicampakkan ke laut sana. Siapa tahu?~Sudah bertahun-tahun berlalu. Begitulah ia mencuri-curi dengar setiap kali para nelayan tua membicarakan ayahnya dengan wajah berduka.
Hingga suatu hari, ketika ia sedang bekerja sebagai buruh bangunan proyek sebuah villa ditepi pantai ia melihat seorang lelaki tambun keluar dari sebuah mobil merah dikawal oleh tiga orang lelaki bertubuh kekar dengan tampang menyeramkan. Temannya mengatakan bahwa lelaki tambun dengan wajah berminyak itu adalah yang empunya proyek. Dia tidak hanya kaya raya tapi juga orang kuat di sepanjang pesisir pantai. Polisi dan tentara saja segan dan tunduk padanya karena ia sangat royal dan bermurah hati pada mereka. Bahkan, kononnya tiga lelaki yang mengawalnya tersebut adalah anggota tentara.
“Aku tidak mengenalnya.Tak pernah.” Ujarnya perlahan.
“Bodoh! Semua orang kenal Babah. Jermal terbesar dilaut itu dia yang punya.” Ujar temannya.
“Jermal terbesar dilaut itu dia yang punya.” Kalimat itu tiba-tiba menggema di kepalanya, membentur-bentur otaknya, membuat ia berusaha mengingat-ngingat ayahnya yang sayangnya tak begitu dingatnya wajahnya karena waktu itu ia masih sangat kecil. Sepuluh tahun yang lalu dan sekarang ia sudah tujuh belas tahun. Pagi hari, sebelum berangkat kerja ibu memberinya minuman istimewa dari kelapa muda dicampur dengan gula merah dan perahan jeruk nipis harum. Kata ibunya hari ini ia genap tujuh belas tahun.
Tujuh belas tahun. Sudah sepuluh tahun ayah pergi ke jermal pada tengah malam untuk menjumpai Babah si tokeh jermal dan hingga kini belum kembali.
Tiba-tiba kepalanya serasa sakit luar biasa dan otaknya serasa mendidih.Ia mengangkat palu yang digunakan untuk memecahkan batu. Seperti mimpi ia mendekati Babah yang sedang santai beristirahat dikursi malas membelakanginya dibawah tenda. Sementara ketiga pengawalnya asyik bermain kartu tidak jauh dari Babah.
Seperti mimpi, ia melihat ayah berdiri dikejauhan, melambai tapi ia membuang muka dari ayahnya. Seperti mimpi ia melihat abang tergolek seperti benda mati diatas dipan dan sekelebat bayangan wajah emak yang matanya selalu berkaca-kaca. Sesaat, ia melihat sebuah batu besar dihadapannya, batu karang untuk bangunan villa mewah yang harus dihancurkannya dan untuk itu ia dibayar sepuluh ribu rupiah setiap hari. Ia menghantam dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati. Terdengar jeritan menakutkan, darah hangat memercik wajahnya, otak berwarna putih yang berhamburan lengket ditangannya. Tapi ia terus memecah batu, terus memecah dan memecah hingga sesuatu yang panas menembus kulit pahanya dan ia merasa tiba-tiba capai lalu berhenti.
Koran-koran memberitakan Pengadilan menjatuhkan hukuman mati karena ia membunuh seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani bernama Babah beserta dua orang anggota tentara sahabat Babah yang selama ini sangat berjasa menjaga keamanan disekitar pantai pesisir. Ia masih berumur tujuh belas tahun dan psikiater yang diminta untuk memeriksanya memberi opini bahwa dia baik-baik saja. Sangat waras.
.
*****
Gulai pakisnya telah habis. Yang tinggal hanya paha ayam dan sambal cabai rawit. Ia minum segelas teh manis lalu meminggirkan nampan berisi makanan terahirnya. Hari telah larut. Diluar ia dapat merasakan udara dingin menggigit dan beberapa ekor anjing kampung disekitar penjara itu melolong-lolong sepi. Ia tidak pernah memiliki jam dan tidak tahu jam berapa saat ini. Namun ketika ia mendengar kokok ayam dikejauhan dan gemerincing kunci serta langkah-langkah sepatu lars, ia tahu bahwa dini hari telah tiba. Ia pandang lagi mangkuk kecil berisi sisa kuah gulai pakis, makanan terahir yang dimintanya. Ia tersenyum, mengingat wajah sendu emaknya dan matanya yang selalu berkaca-kaca dan sosok abang yang tubuhnya terus mengecil seiring berjalannya waktu, yang tergolek tak berdaya diatas dipan kayu di beranda rumahnya. Ia ingat kata-kata terahir ayahnya, “Manusia wajib membela haknya.” Kata-kata itu sekarang serasa begitu jelas di telinganya, meskipun ia tidak pernah paham maknanya.
Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika berjalan meninggalkan selnya, melangkah keluar penjara yang dingin pada dini hari. Ia tau, sesuatu sedang menunggunya diluar sana.
Ketika hidup tidak memiliki makna, matipun merupakan hal yang biasa.
Ia tersenyum sendiri mengingat kalimat yang diukirnya di dipan kayu di dalam sel yang ditinggalkannya yang tak kan lagi ia pernah kembali ke situ.

bagus Bu..
BalasHapus