Minggu, 05 Juni 2011

Menerjemahkan Hak Moral Pencipta



Pernahkah anda begitu bersemangat membeli sebuah buku terjemahan karya seorang penulis terkenal, akan tetapi setelah membaca karya terjemahan tersebut anda merasa kecewa dan berpikir, ” Wah...ternyata karya pengarang ini gak sehebat beritanya!”?

Perjalan spiritual saya ke Toko Buku Gramedia pada suatu senja berinai hujan di bulan April 2011 silam mempertemukan saya dengan sebuah buku terjemahan karya Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Love in The Time of Cholera. Terdorong oleh beberapa kajian sastra tentang karya Marquez yang pernah saya baca berikut dorongan memory dari film dengan judul yang sama yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi sebulan yang silam, saya memutuskan untuk membeli novel terjemahan dari Love In The Time of Cholera diterjemahkan menjadi Cinta Sepanjang Derita Kolera.

Terus terang, judul terjemahan tersebut sedikit mengganggu selera membaca saya. Perasaan terganggu berlanjut lebih intens lagi ketika saya mulai membaca halaman pertama. Ada beberapa paragraph terkesan diterjemahkan words by words sehingga menjadi kalimat tanpa jiwa dan kering. Ahirnya, saya berhenti membaca karya terjemahan tersebut, lalu  karya terjemahan tersebut saya simpan di laci bersama-sama dengan buku-buku lain yang tidak ingin saya baca kembali. Singkatnya, dengan membaca beberapa lembar saja, saya tidak menemukan kehebatan dari karya Gabriel Garcia Marquez dari terjemahan buku tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan gambaran di film yang sudah saya lihat sebelumnya.

Kadang-kadang, membaca karya asli dalam bahasa Inggris lebih terasa nikmat daripada membaca karya terjemahan ke bahasa Indonesia. Saya memiliki terjemahan dari karya Vincent Mahieu, seorang penulis sastra Belanda berjudul Tjis dan Tjus yang diterjemahkan oleh H.B Jassin menjadi Cis dan Cus pada tahun 1976. Begitu piawainya H.B Jassin menerjemahkan buku tersebut ke bahasa Indonesia sehingga terjemahan karya Vincent Mahieu mengalir indah dan enak dibaca. Saya juga memiliki koleksi buku terjemahan dari berbagai bahasa seperti Spanyol, bahasa Jepang, bahasa China atau Russia yang enak dibaca seperti karya Eiji Yoshikawa dalam Musahsi atau karya terjemahan maha karya penulis sastra terkenal dunia lainnya seperti Guy de Maupassant, Anton P.Chekov, Lao Hsiang, Nikolai Gogol dan sebagainya yang dengan tepat menggambarkan ciri khas kehebatan bertutur dari para sastrawan tersebut.

Pergaulan saya dengan karya terjemahan dimulai sejak kecil, ketika saya membaca terjemahan buku-buku karya Enid Blyton, Laura Inggals dan Frances Hodgson Burnett. Setelah dewasa dan saya mampu membaca dalam versi bahasa Inggris, saya mendapati sensasi yang sama dengan ketika membaca karya terjemahan dalam bahasa Indonesia dan saya dapat merasakan kehebatan bertutur penulis-penulis tersebut. Siapakah penerjemahnya? Saya bahkan tidak pernah ingat! Dalam karya terjemahan, ternyata si penerjemah kerap dilupakan oleh pembacanya karena judul buku terjemahan tetap menggunakan nama penulis yang asli. Namun ini menjadi bukti kuat, suatu  prima facie tak terbantahkan dari suatu karya terjemahan yang berhasil. Mengapa? Karena  dalam karya terjemahan yang berhasil, pembaca memperoleh sensasi yang sama dengan ketika membaca versi bahasa penulis aslinya, seolah-olah sang penerjemah dengan penulis asli novel tersebut adalah orang yang sama, hanya saja dia menceritakan kembali isi novel tersebut dengan bahasa yang berbeda.

Sesungguhnya, itulah hakekat dari karya terjemahan. Si perjemah harus dapat menceritakan ulang suatu karya orang lain dalam bahasa yang berbeda tanpa penambahan atau pengurangan yang merubah alur dan esensi cerita atau merubah ciri khas gaya bercerita si penulis asli. Dalam karya terjemahan, si penerjemah adalah the re-story teller yang berada di belakang si penulis cerita asli dan bukan si penulis cerita itu sendiri. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai suatu Ciptaan baru yang dilindungi oleh Hak Cipta sebagai reward pada karya intelektual penerjemah dalam menceritakan kembali.

Dalam bisnis penerbitan, karya terjemahan dianggap penting dilakukan sesuai dengan porsinya tanpa merubah suatu karya yang diterjemahkan. Konsep ini merupakan harga mati, suatu dalil yang tidak bisa disimpangi,  karena sesungguhnya Penerbit  menjual Ciptaan yang dimiliki oleh 2(dua) Pemegang Hak Cipta yaitu Pencipta penulis asli dan Pencipta karya terjemahan. Karena itu perlu adanya tanda authorized translate yang dicantumkan dalam karya terjemahan sebagai bentuk tanggungjawab Penerbit bahwa pihak yang telah mendapat izin resmi dari Penulis asli (the Author) untuk menjaga kesamaan mutu terjemahan dengan karya aslinya. Tanda hak untuk menerjemahkan tersebut, misalnya, dapat kita temui dalam  terjemahan buku berjudul Around The World in 80 Dinners oleh Cheryl dan Bill Jamison sebagai berikut:
Indonesian translation rights arranged through the Doe Coover Agency, Winchester, Massachussetts, USA.
Dengan adanya tanda tersebut, terjalin hubungan hukum antara penerjemah atau penerbit dengan pemegang hak cipta atas buku tersebut yang mengandung makna bahwa penerjemah berhak memperbanyak suatu Ciptaan dalam bahasa yang berbeda dan bertanggungjawab terhadap mutu terjemahan serta menjaga Hak Moral Pencipta buku aslinya.

Dari sudut UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, suatu terjemahan digolongkan sebagai Ciptaan yang baru yang dilindungi Hak Cipta dan memiliki keistimewaan sebagai berikut:
Ø  Karya terjemahan (Translated Work) dalam ranah Hak Cipta adalah karya turunan (Derivative Work) dari karya asli yang juga dilindungi Hak Cipta. Dalam suatu karya terjemahan terjadilah proses konsepsi Hak Cipta melahirkan Hak Cipta. Suatu terjemahan secara hukum dianggap sebagai karya baru dan Hak Cipta terjemahan ada pada penerjemah

Meskipun disebut sebagai karya baru yang dilindungi Hak Cipta, suatu karya terjemahan tetap memiliki koneksi yang abadi dan tak terputuskan dengan Penulis karya yang asli. Koneksi abadi tersebut secara tegas diatur oleh Pasal 24 UU Hak Cipta yang mengatur tentang Hak Moral Pencipta.
Ø  Koneksi antara penulis karya yang asli dengan karya terjemahan dalam versi bahasa yang berbeda tidak boleh diputuskan oleh siapapun meskipun Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh pihak lain karena pengalihan Hak Cipta dengan jual beli ataupun karena hibah maupun warisan.
Ø  Koneksi penulis karya yang asli dengan karyanya diwujudkan dalam pengakuan akan Hak Moral Pencipta dengan cara mencantumkan nama penulis dan judul karya yang asli dalam karya terjemahan.

Meskipun karya terjemahan digolongkan sebagai karya baru, namun karya terjemahan  bukan merupakan versi baru (new version), parodi atau jiplakan dari karya yang diterjemahkan. Karya terjemahan adalah suatu perbanyakan dari karya asli dalam bentuk bahasa yang berbeda. Dalam karya terjemahan, yang berbeda hanya bahasanya dan bukan ceritanya. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai karya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi karena dibutuhkan keahlian, upaya dan kreativitas dalam menerjemahkan suatu karya penulis lain tanpa merubah, menambah atau mengurangi substansi dari karya aslinya.

Disisi lain dibutuhkan kepekaan dan kesadaran dari penerjemah bahwa ia tidak membuat suatu karya versinya sendiri akan tetapi ia hanya berusaha menceritakan kembali suatu karya dalam bahasa yang berbeda. Seorang penerjemah must be humble, harus memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk tidak menonjolkan dirinya dalam karya terjemahannya akan tetapi menonjolkan si empunya cerita yaitu penulis asli. Karena sesungguhnya menerjemahkan suatu karya penulis lain adalah sama dengan menerjemahkan Hak Moral Pencipta karya yang asli dalam karya terjemahannya. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Cipta yang menganugerahkan Hak Cipta terjemahan atas kepiawaian penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya dalam bahasa yang berbeda tanpa mengubah esensi karya yang asli dan tidak menciderai reputasi penulis yang asli.

Suatu terjemahan yang dilakukan tidak professional dan melangkahi akidah dan etika menerjemahkan akan mencederai Hak Moral Pencipta karya yang asli. Karena itu, terjemahan yang tidak professional yang telah menambah, mengubah atau meniadakan beberapa bagian dari karya asli dapat melanggar Hak Moral Pencipta. Berdasarkan Pasal 55 jo Pasal 58 UU Hak Cipta, pelanggaran Hak Moral dapat dituntut secara perdata maupun pidana dan UU Hak Cipta memberi hak persona standi in judicio bagi penulis atau ahli warisnya untuk menggugat manakala Ciptaan penulis asli dicederai dengan berbagai cara dan modus operandi seperti:
Ø  Tidak mencantumkan nama Pencipta dalam karya terjemahan.
Ø  Menjual nama Pencipta dengan cara mencantumkan nama Pencipta pada karya orang lain.
Ø  Merubah, menambah, menghilangkan sebagian Ciptaan atau merusak  Ciptaan Pencipta tanpa izin.
Sedangkan ancaman pidana pelanggaran Hak Moral diatur dalam Pasal 72 ayat (6) UU Hak Cipta yaitu pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda maksimum 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah).
******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar