Tell me not in mournful numbers/live is but an empty dream?/ for the soul is dead that slumbers/and things are not what they seem .
(Henry Wardsworth Longfellow: A Psalm of Live)
Penggalan puisi klasik dari Longfellow tersebut diatas secara puitis dapat menggambarkan adanya penyimpangan eksistensi dari asas praduga tak bersalah di ranah hukum Indonesia. Ahir-ahir ini sejarah perjalanan penerapan asas praduga tidak bersalah di bidang penegakan hukum di Indonesia seperti sebuah biografi anak manusia yang kehilangan jati dirinya karena kehilangan rumahnya. Sebagai salah satu pilar utama dari prinsip due process of law yang berlaku secara universal di dunia belahan manapun tanpa membedakan sistem hukum suatu negara, asas praduga tak bersalah (presume of innocence) sejatinya merupakan pembatas linier dari kesewenang-wenangan hukum sekaligus sebagai kawal terdepan dari perlindungan hak asasi manusia. Prinsip yang dikandungnya sejak dilahirkan adalah bahwa seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum diputuskan bersalah oleh pengadilan.
Namun di Indonesia, berbagai peristiwa hukum pidana murni maupun peristiwa pidana bernuansa politis yang terjadi telah menempatkan asas praduga tak bersalah pada titik terkritis dalam sejarah penerapannya. Efek domino dari euforia keterbukaan informasi dan kebebasan mengemukakan pendapat membuat suatu peristiwa hukum seperti saham blue chips yang dilepaskan ke pasar bebas untuk dibahas oleh berbagai ahli hukum maupun para pihak yang (mengaku) mengerti hukum. Dalam konteks keterbukaan untuk menyuarakan opini tersebut, asas praduga tak bersalah telah dimaknai dengan penafsiran yang sarat dengan kepentingan kelompok.
Kasus suap Anggodo kepada Ketua KPK Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah menjadi landmark contoh kasus yang telah menempatkan asas praduga tak bersalah pada posisi paling kritis dalam sejarah perjalanan penerapannya di Indonesia. Kala itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara tersirat menghendaki kasus tersebut dihentikan dengan berbagai pertimbangan yang dinilai bersifat non juridis oleh kubu yang bersuara keras mengusung asas equality before the law yang menghendaki hukum diterapkan pada setiap orang tanpa kecuali. Debat berkepanjangan kasus Bibit dan Chandra yang dikemas dalam paket “Cecak vs Buaya” ini bergulir begitu panasnya dan menguras emosi dan simpati publik di media massa, baik media cetak maupun elektronik hingga ke jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Opini-opini yang dikemukakan di ruang publik tanpa filter ini kemudian diskonsumsi secara terbuka oleh seluruh rakyat Indonesia dan melahirkan pesan virtual bahwa kasus Bibit dan Chandra adalah rekayasa dan mereka tidak bersalah karena tidak terbukti menerima suap dari Anggodo.
Sayang sekali, opini publik tentang kasus suap ini sebagai rekayasa dan Bibit dan Chandra tidak bersalah terbentuk tanpa pernah diuji sebagaimana mestinya di Pengadilan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menentukan bersalah tidaknya seseorang. Kasus Bibit dan Chandra ahirnya diahiri dengan manis dengan sebuah kata magic “diponeering” dan asas praduga tak bersalah seakan-akan kehilangan makna magisnya. Kasus Bibit dan Chandra ini menjadi contoh bahwa asas praduga tak bersalah secara keliru telah dimaknai bukan lagi dalam konteks yang sebenarnya dan ditempat yang sebenarnya yaitu di pengadilan, akan tetapi melalui suatu trail by the press atau trail by the mass yang tidak memiliki landasan hukum.
Eksistensi asas praduga tak bersalah kembali diuji dalam peristiwa penolakan kehadiran Ketua KPK Bibit dan Chandra oleh Komisi III DPR dalam rapat kerja pada tanggal 31 Januari 2011. Dalam peristiwa itu, Komisi III DPR kembali menyoal status hukum kedua pimpinan KPK tersebut dan berpendapat bahwa status deponeering secara hukum telah menempatkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka seumur hidup. Terlepas dari ada dugaan bernuansa politis bahwa penolakan ini sebagai upaya serangan balik DPR kepada KPK sehubungan dengan penahanan 19 politisi karena diduga terlibat dalam kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom, pernyataan ini ada benarnya. Tindakan deponeering adalah proses hukum sekaligus administrasi hukum untuk mengesampingkan suatu perkara dituntut ke pengadilan. Namun tindakan deponeering tidak menimbulkan status hukum tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan tersangka tidak bersalah.
Trend terbaru bentuk ujian lainnya terhadap asas praduga tak bersalah juga tergambar dalam program Jakarta Lawyer Club yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta TV One pada tanggal 1 Februari 2011. Dalam acara tersebut, para host secara vokal menyuarakan aspirasinya tentang peristiwa penangkapan 19(sembilan belas) politisi tersebut. Pembahasan bahkan sudah mencakup materi hukum yang harusnya diserahkan kepada instansi penegak hukum yang berwenang untuk itu. Memang kasus gratifikasi atau suap adalah suatu tindak pidana kolaborasi antara pemberi suap dan penerima suap. Perbuatan dimulai dari adanya tindakan dari pemberi suap dan perbuatan gratifikasi menjadi sempurna dengan diterimanya suap tersebut. Sayangnya, dalam kasus ini yang terang benderang bagi KPK adalah para penerima suap. Sedangkan si mister X selaku pemberi suap masih menjadi mistery guess dalam perburuan KPK. Namun kondisi ini tidak serta merta dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk menyatakan para tersangka tidak bersalah secara hukum. Status mereka berada dibawah perlindungan asas praduga tak bersalah, terlepas dari si pemberi suap belum ditemukan.
Membahas suatu peristiwa hukum di layar kaca yang sebenarnya bersifat infotainment sangat rentan berubah menjadi ajang trial by the press yang dapat mencederai fungsi dari asas praduga tak bersalah. Sayangnya, dalam tayangan tersebut tak seorangpun yang berusaha mengembalikan asas praduga tak bersalah ke rumahnya yang sebenarnya di Pengadilan. Pendapat yang menyatakan telah terjadi error in persona atau penahanan sebagai tindakan yang prematur harus diuji sepenuhnya di pengadilan. Karenanya, penyidikan tetap berlangsung demi penghormatan kita pada due process of law dengan menempatkan asas praduga tak bersalah untuk melindungi para tersangka dari segala penghakiman oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kekuasaan kehakiman untuk mengadili. Mari kita kembalikan pengujian asas praduga tak bersalah ke rumahnya yang sebenarnya di pengadilan.
********

Tidak ada komentar:
Posting Komentar