Gerakan RENCANA PESERTA AKSI HAKIM INDONESIA MENGGUGAT PRESIDEN DAN DPR RI yang diprakarsai oleh seorang hakim wanita merupakan suatu gerakan fenomenal yang patut kita kenangkan dalam menyambut peringatan Hari Kartini yang akan jatuh pada tanggal 21 April. Adanya ide dari ibu hakim dari Yogyakarta berinisial AN telah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan termasuk kalangan hakim sendiri. Gerakan ini juga mengangkat issue bernada 'dagelan' tentang GAJI WAKIL RAKYAT yang LEBIH BESAR dengan GAJI WAKIL TUHAN. Gerakan ini juga membuat gerah beberapa anggota legislatif yang dengan santai berkomentar :" Gaji hakim di Indonesia belum pantas dinaikkan karena kinerja belum bagus."
Mendengar komentar tersebut saya merasa kagum, wow...gimana caranya dia menilai kinerja hakim se Indonesia belum bagus ya? Apakah anggota dewan yang mulia dan terhormat itu telah melakukan suatu penelitian yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dia bisa berpendapat tentang pantas tidaknya hakim diberi kenaikan gaji?
Terlepas dari adanya tanggapan kontra yang mengatakan "HAKIM TIDAK PANTAS BERDEMO MENUNTUT HAKNYA", saya pribadi mendukung gerakan ini dengan berbagai-bagai alasan:
1. Hakim juga manusia
Telah terjadi fallacy berpikir yang menjadi tragedi bagi hakim. Hakim di Indonesia sudah 'terlanjur basah' digolongkan sebagai makhluk suci ciptaan Tuhan yang diberi amanah memegang 'pedang keadilan' dan karenanya hakim di Indonesia digadang-gadang sebagai 'Malaikat Keadilan' yang dimuliakan. Di Indonesia, HAKIM dikotakkan sebagai makhluk semacam DISTRIBUTOR KEADILAN. Tapi ternyata pemberian stigma hakim sebagai makhluk 'istimewa yang digelari MALAIKAT KEADILAN' bukannya mengangkat drajat hakim itu sendiri malahan menjadi pedang yang telah menikam jantung si hakim itu sendiri. Mengapa? Karena negara, masyarakat, para eksekutif, para legislator yang mulia 'terlanjur basah' telah mempreteli KEMANUSIAAN sang hakim.
Bagi masyarakat, hakim bukan lagi terdiri dari sepotong daging, darah, jiwa yang memiliki kehendak, keperluan dan keinginan. Hakim tidak kawin-mengawinkan sehingga memiliki keluarga yang perlu dinafkahi dan hakim juga punya putra dan putri yang perlu disekolahkan. Singkat kata, kita lupa bahwa hakim juga punya cita-cita, punya impian untuk buah hatinya.
Kealpaan bangsa kita akan sisi kemanusiaan hakim terbukti dari tidak didukungnya jabatan hakim dengan fasilitas yang layak seperti penggajian. Terus terang, penggajian hakim di Indonesia didesain seperti menggaji para buruh di pabrik dengan cara menghitung jam kerja yang dilakukan oleh sebuah mesin untuk menghitung out put kinerja hakim sehari itu. Jika hakim terlambat masuk, remunerasinya (yang tidak seberapa dan dicicil pula 70% sudah hampir tiga tahun) akan kena potongan 1%, kalau absen kena 5%. Belum lagi kalau sakit. Makanya hakim diseluruh Indonesia wajib hukumnya berdoa diberi kesehatan saja, tidak usah kekayaan, karena kalau sakit, remunerasinya akan habis dan ia hanya akan memperoleh gaji.
Oleh karena hakim Indonesia masih manusia biasa, tentunya dia berhak mengeluarkan aspirasinya sebagai warga negara untuk menuntut haknya. Hak untuk mengeluarkan pendapat sudah dijamin 100% dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen.
2.Memperdengarkan Suara
Sebagian kalangan, terutama dari kalangan hakim sendiri, ada yang merasa 'malu dan gerah' dengan gerakan tersebut karena dinilai terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan imej hakim sebagai seorang abdi negara. yang arif lagi bijaksana yang keseharian hidupnya melafalkan 'kode etik' hakim. HAKIM HARUS STAY COOL, NO MATTER WHAT. HAKIM HARUS MENGAMALKAN HIDUP SEDERHANA. HAKIM HARUS MENJAGA MARTABAT DIRINYA. Begitulah kira-kira dalil pakem yang mereka terapkan untuk hakim. Pendapat yang kontra pada gerakan ini jelas berakar dari fallacy berpikir bangsa Indonesia yang telah saya sebutkan diatas yaitu mengabaikan sisi kemanusiaan hakim. TERLANJUR BASAH MENGIDEALKAN HAKIM SEBAGAI MALAIKAT KEADILAN. Seperti kita mahfum, MALAIKAT bukan MANUSIA.
Gerakan ini justru membuka tabir gelap selama ini yang menutupi sosok para hakim. Gerakan ini merupakan suatu pengakuan yang jujur dari hakim sendiri yang ahirnya berteriak lantang MENELANJANGI DIRINYA SENDIRI dengan mengingatkan kita semua bahwa mereka juga manusia. TOLONG INGAT ITU!.JANGAN JADIKAN KAMI MALAIKAT KEADILAN YANG BOKEK!
Mengapa sampai menempuh jalan yang lazimnya ditempuh oleh para buruh dengan cara demonstrasi?
- Mungkin karena institusi yang seyogyanya memperjuangkan kesejahteraan hakim seperti KY tidak menyadari keadaan ini karena sibuk membangun pencitraan sebagai the Judges' Watchdog yang giat menjaring hakim-hakim 'kelaparan' yang 'nakal' untuk dipertontonkan kepada masyarakat.
- Mungkin karena aspirasi untuk mensejahterakan hakim tidak memiliki bentuk yang jelas. Karenanya demonstrasi dan mengajukan gugatan adalah salah satu cara yang paling legal untuk ditempuh.
Ahirnya, kita memberi applaus kepada ibu hakim yang memprakarsai gerakan ini. Terlepas gerakan ini nantinya memberikan hasil atau tidak, akan tetapi 'gebrakan' yang dibuatnya sudah cukup menyadarkan bangsa ini bahwa Hakim juga MANUSIA. JANGAN LUPAKAN ITU!
Catatan:
Karena konon katanya demonstrasi iuntuk menyampaikan aspirasi itu tidak sopan dan vulgar, maka saya menyampaikan aspirasi saya dengan cara yang lebih 'elegan' yaitu: MENULIS. Mohon maaf kalau ada kalimat yang menyinggung rasa keterhormatan diri pembaca.
SELAMAT MENYAMBUT HARI KARTINI!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar