Senin, 20 Juni 2011

Noz Si Peramu Wewangian


Sepertinya wewangian adalah ‘keindahan hidup’ yang berasal dari sorga karena tidak satupun agama mengasosiasasikan wewangian dengan dosa yang harus dijauhi. Bahkan sejarah memiliki catatan panjang tentang penggunaan aroma sebagai minyak urapan dalam upacara-upacara keagamaan [1] dan ada catatan bahwa sejak berabad silam, penganut Hindu di India menggunakan dupa wangi essens ittar dan argawood dalam melakukan ritual keagamaan.[2] Tidak berlebihan jika seorang peramu parfum bernama Jean Claude Ellena menyatakan parfum adalah media penghubung antara Tuhan dan manusia.[3]

Dalam kehidupan modern, wewangian yang bersifat magis bermetamorfosis menjadi komoditas dagang  bergengsi yang disebut parfum yang difungsikan untuk membangun citra diri seseorang dalam pergaulan sosial. Sebuah penelitian membuktikan bahwa aroma digunakan oleh beberapa konsumen untuk mengelola identitas mereka sendiri dan selanjutnya identitas mereka diidentifikasikan dengan Merek tertentu. [4] Karenanya tidak berlebihan ketika Paul Valery mengatakan: “A Woman who does not perfume herself has no future.”[5]

Secara pribadi, saya melihat persinggungan yang signifikant antara parfum dengan industri kekayaan intelektual di bidang hukum Merek dimulai pada tahun 1919 ketika seorang desainer mode bernama Coco Chanel meluncurkan parfum dengan Merek Chanel No.5 disusul oleh Guerlain dengan parfum Merek Shalimar pada tahun 1925 dan Jean Patsu dengan Merek Joy pada tahun1930. Masing-masing Merek parfum tersebut tetap digemari hingga kini karena memiliki keistimewaan dan kelas konsumen tersendiri. Namun Chanel No.5 sejak dilaunching  tetap menjadi pilihan terpopuler para wanita se dunia, seolah-olah Chanel No.5 menjadi a must have item para wanita. Percaya atau tidak, satu botol parfum Chanel No.5 terjual setiap tiga puluh detik diseluruh dunia setiap hari.[6]

Sekarang sudah banyak parfum merek terkenal yang menjadi mesin pencetak uang seperti Dunhill For Man dari Alferd Dunhill, Youth Dew dari Estee Lauder, Opium dari Yves St.Lauren (YSL), Declaration dari Cartier, Bazar Femme dari Christian Lacroix, Un Jardin en Mediterranae maupun Un Jardin Sur le Nil milik Hermes. Kesemuanya secara misterius memiliki ikatan emosional dengan para konsumennya yang fanatik menampilkan citra diri mereka melalui Merek parfum yang dipakainya. Namun pernahkan ada yang tahu siapa aktor intelektual dibalik keharuman dan kepopuleran sebuah parfum dari merek terkenal tersebut?

            Dalam bisnis indra penciuman, ternyata Coco Chanel bukanlah aktor intelektual dari terciptanya Chanel No.5. Ia hanya mencetuskan ide tentang parfum yang diinginkannya dengan keharuman istimewa yang dapat memancarkan sisi feminimitas pemakainya: “I want everything in the perfume and abstract of flowers that would evoke the odor of woman pesannya. [7] Selanjutnya, seorang Noz (bahasa Prancis=hidung) yaitu orang yang ahli meramu wewangian bernama Ernest Beaux menerjemahkan ide Coco Chanel dengan meramu beberapa jenis ekstrak wewangian lalu mengkonfirmasikan setiap campuran pada Coco Chanel. Ahirnya, setelah beberapa kali percobaan Coco Chanel memilih ramuan yang terdiri dari 80 jenis ekstrak wewangian seperti melati, mawar, ylang-ylang, cengkeh dan sejenis daun kering dari Indonesia.[8]  Campuran wewangian tersebut kemudian dikemas dalam botol yang didesain khusus dan diproduksi secara terbatas dengan merek Chanel No.5. Parfum itu sukses, dunia menyukai harumnya dan menjadi status simbol wanita elegant and glamour. Tapi nama Ernest Beaux tidak pernah disebut-sebut atau diasosiasikan dengan parfum merek Chanel No.5.

Kisah romantis penciptaan parfum Chanel No.5 mengingatkan kita bahwa pekerjaan Noz meramu parfum pada dasarnya sama dengan seorang Pencipta yang mengekspressikan suatu ide yang biasa menjadi suatu Ciptaan yang baru. Noz si peramu sebenarnya menciptakan suatu ‘keindahan hidup’ yang baru dalam sebuah botol berisi campuran ekstrak wewangian yang diramu dengan menggunakan seluruh kemampuan intelektualnya. Kemampuan intelektual tersebut adalah imajinasinya, keahliannya dalam mengidentifikasi setiap ekstrak wewangian yang diperoleh berdasarkan pengalaman meramu, kreativitas dan cita rasa dalam menentukan setiap takaran ekstrak aroma hingga ahirnya menjadi sebuah wewangian yang istimewa yang berbeda dengan parfum yang telah ada sebelumnya. Ekstrak mawar hanyalah berbau mawar sampai ia menjadi parfum yang memiliki cerita setelah Noz mencampurnya dengan ekstrak wewangian lainnya dengan menggunakan seluruh kemampuan intelektualnya. Namun pekerjaan Noz si peramu wewangian tidak melahirkan suatu Ciptaan intelektual dan tidak juga dapat digolongkan sebagai hak intelektual.

Dalam ranah hukum Hak Cipta, Pencipta memiliki Hak Cipta atas karya kreatif intelektualnya dan juga Hak Moral yang menghubungkan namanya dengan Ciptaannya untuk selama-lamanya. Namun Hak Cipta maupun koneksi abadi dengan parfum hasil ramuannya tidak dimiliki oleh seorang Noz. Tak ada hukum yang memberinya reward seperti Hak Cipta memberi royalti kepada Pencipta atas Ciptaannya. Tidak juga memberi Hak Moral yang menghubungan Noz dengan parfum ciptaannya untuk selama-lamanya. Ide, kreativitas, daya penciuman, pengalaman dan imaginasi yang menuntun Noz meramu berbagai ekstrak wewangian untuk menciptakan sebuah komoditas dagang bernama parfum tidak digolongkan sebagai sebuah Ciptaan yang dilindungi dengan Hak Cipta.

Noz si peramu parfum tidak pernah diberi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual seperti Merek untuk parfum hasil racikannya, kecuali Jaques Guerlain yang meramu sendiri parfum Shalimar pada tahun 1925. Dalam dunia ide dan kreativitas, penghargaan terhadap Noz sang legendaris peramu parfum tidak dikenal dalam ranah hukum hak kekayaan intelektual. Dalam hukum Merek pekerjaan Noz meramu wewangian tidak melahirkan hak kekayaan intelektual dan hanyalah pekerjaan berlandaskan hubungan contract for service dimana seorang Noz dibayar untuk pekerjaan indra penciumannya. 

Dalam hukum Merek, yang dijual pada konsumen bukan ekspressi ide akan tetapi ‘tanda’ yang disandang oleh suatu produk yang memiliki kekuatan untuk membedakan produk tersebut  dengan produk lainnya yang sejenis. Parfum hanyalah sebuah wewangian biasa dalam botol yang tidak ada bedanya dengan sekumpulan parfum dalam botol lainnya. Akan tetapi dengan menggunakan tanda ‘Hermes’ dalam kemasannya, lengkap dengan warna oranye kemerahannya yang khas Hermes, parfum yang diberi nama Un Jardin Sur Le Nil menjadi berbeda dengan parfum Opium yang menyandang Merek dagang YSL.

Sedangkan seorang Noz tidak menjual parfum, ia hanya meramu wewangian karena pesanan dalam konteks bisnis. “I never know if a perfume will be a sucess. But I know what to do to not make a bad perfume” ujar Jean Claude Ellena, [10] seorang Noz yang dikontrak oleh Hermes untuk menciptakan parfum spektakuler abad ke 21 : Un Jardin en Medditerranee dan Un Jardin sur Le Nil. Meskipun Ellena yang memiliki ide ketika meramu parfum tersebut dengan thema nuansa Mediterania dan tanaman eksotik yang tumbuh disekitar tepian sungai Nil untuk mendiskripsikan wewangian yang dijual dalam botol produk dari Hermes tersebut, namun parfum tersebut tidak menjual apa-apa jika tidak dilekati dengan label Hermes.

Konsumen membeli parfum Un Jardine Sur Nil bukan karena thema eksotik yang di ciptakan Noz yang meramunya akan tetapi karena percaya pada kekuatan Hermes sebagai Merek Dagang terkenal dengan reputasi internasional. Apapun yang dijual Hermes akan dibeli oleh konsumennya yang fanatik. Dengan kata lain, konsumen sebenarnya tidak membeli parfum Un Jardin Sur Le Nil hasil ramuan Jean Claude Ellena, tapi konsumen membeli nama Hermes karena menurut Marc Gobe ”Hermes memiliki hubungan emosional yang kredible dengan konsumen.”[11]

Kisah Noz si peramu parfum dalam dunia kekayaan intelektual ini menyadarkan kita hukum Merek tidak memberi penghargaan pada aktor intelektual dibalik kekuatan suatu Merek Dagang dari suatu produk atau jasa yang telah memiliki reputasi. Tidak penting bagi konsumen siapa yang meramu parfum Chanel No.5, sama seperti tidak banyak Konsumen yang tau bahwa minuman Coca Cola yang rasanya mendunia itu diramu oleh seorang ahli farmasi bernama John Stith Pemberton. Ini merupakan sisi gelap dari hukum kekayaan intelektual yang sejatinya memberi penghargaan atas kreasi intelektual manusia dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan cara merubah sesuatu yang biasa menjadi istimewa.
*******



[1] Didalam Alkitab digambarkan bagiaman wewangian atau dupa dibakar di Bait Allah dan Yesus diurapi dengan minyak kesturi yang sangat mahal oleh seorang perempuan pada sebuah jamuan makan sebelum peristiwa penyalibannya di bukit Golgota.
[2] Ittar adalah sejenis minayk yang diekstrak dari sejenis bunga-bungaan dan kayu wangi seperti sandalwood. Setelah diekstrak dengan cara hidro atau penguapan, minyak ini sebelum digunakan dituakan dalam sebuah wadah dari kayu sandalwood selama beberapa tahun.
[3] Dana Thomas, Deluxe:How Luxury Lost Its Luster, Penguin Group, USA Inc, 2007, hal.139.
[4] Marc Gobe, Emotional Branding, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2005, hal.103.
[5] Ibid.hal.139.
[6] Ibid,.hal.144.
[7] Ibid.hal.156
[8] Ibid.Hal.146
[10] Ibid.hal.157
[11] Marc Gobe, hal.323

Senin, 06 Juni 2011

Photo : Dua Belahan Jiwa


Pada suatu masa, ditahun 1993 ada 1(satu) buku yang paling dicari oleh orang Indonesia. The most wanted book tersebut berjudul Madame D’syuga, terbitan Scholars Publishers, Tokyo seharga 4.800 yen. Pamor buku Madame D’syuga menjadi the most wanted book terdongkrak bukan saja karena dilarang beredar di Indonesia berdasarkan SK No.KEP.104/JA/II/1993 tertanggal 8 November 1993, akan tetapi karena buku tersebut kononnya berisi photo-photo tak senonoh dari Ratna Sari Dewi, salah seorang janda mendiang Soekarno, Presiden Indonesia yang pertama.

Photo Yang Menimbulkan Kontroversi
Begitu hebohnya buku berjudul Madame D’syuga sehingga Menteri Peranan Perempuan yang kala itu dijabat oleh Mien Sugandhi dalam siaran persnya meminta pemerintah melarang peredaran buku tersebut di Indonesia karena isinya dinilai sangat memalukan dan bahkan menyinggung harga diri perempuan Indonesia serta tidak menunjukkan citra Indonesia.

Pernyataan keras berupa kecaman dari seorang menteri yang notabene seorang wanita yang notabene pula membidangi urusan tetek bengeknya perempuan di negeri ini tentunya menunjukkan seriusnya masalah yang akan ditimbulkan oleh buku tersebut karena menyangkut harga diri perempuan Indonesia dan citra Indonesia pada umumnya, sehingga buku tersebut dinilai tidak pantas menginjakkan kakinya di bumi ibu pertiwi ini.

Saya sendiri belum pernah melihat secara langsung isi buku tersebut. Kononnya buku tersebut berisi photo-photo nudis maupun setengah nudis dari Ratna Sari Dewi. Terdapat pro dan kontra atas kebijakan Pemerintah yang memboikot dan melarang buku tersebut untuk diedarkan di Indonesia. Kubu yang pro, tidak melihat isi buku tersebut sebagai suatu ‘kemesuman’ atau ‘pornografi’ akan tetapi sekumpulan photo eksklusif yang sangat indah bercita rasa seni tinggi. Kubu yang pro memuji kepiawan seni lukis tubuh dari Teruko Kobayashi yang membungkus setiap lekuk tubuh Ratna Sari Dewi layaknya gaun yang indah. Photo-photo tersebut adalah hasil kolaborasi seni tingkat tinggi antara Ratna Sari Dewi yang tubuhnya dilukis oleh Teruko Kobayashi dengan kepiawan yang teruji dari photografer Hideki Fuji dalam mengabadikan setiap gerak dan ekspressi wajah Ratna Sari Dewi. Hideki Fuji sendiri adalah seorang photographer asal Jepang yang reputasinya diakui secara internasional dengan photonya berjudul Gadis Berkimono.

Tampaknya panorama keindahan seni dari kacamata yang pro pada Madame D’Syuga tersebut tidak sealiran sungai dengan sengitnya kecaman ibu menteri Mien Sugandhi yang melihat photo tersebut dari kacamata dan hati seorang perempuan Indonesia yang menilai akibat visual photo-photo tersebut telah merendahkan perempuan Indonesia. (Tampaknya Mien Sugandhi lupa kalau Ratna Sari Dewi bukan asli perempuan Indonesia). Apakah keindahan seni hanya bisa dipahami oleh mata dan hati seorang laki-laki? Pertanyaan ini tentunya masih dapat diperdebatkan kebenarannya.

Dalam perjalannya, pelarangan edar buku Madame D’Syuga memiliki rentetan kasus hukum di Indonesia. Pada tahun 1998, sebuah majalah bernama What’s on Indonesia telah memuat beberapa cuplikan photo dari buku Madame D’Syuga dalam Edisi 132 yang terbit pada tanggal 2 November 1998. Dalam pemuatan photo-photo tersebut dicantumkan Dok.Madame D’Syuga. Namun Ratna Sari Dewi merasa dirinya telah direndahkan dengan publikasi tersebut dan sebagai pemilik photo ia mengajukan tuntutan hukum terhadap Redaksi What’s On Indonesia.

Pengadilan dengan putusan tertanggal 3 Juni 2002 menghukum Warsito selaku Redaksi majalah What’s on Indonesia bersalah melanggar Pasal 44 ayat (2) UU No.12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta dan dihukum 1(satu) tahun penjara. Hakim menilai Warsito bersalah telah memperbanyak dan menyebarluaskan photo-photo Ratna Sari Dewi yang ada dalam buku Madame D’Syuga secara tanpa hak.

Photo Menurut UU Hak Cipta
Berbicara tentang hakekat sebuah photo atau potret, tampaknya hanya Oscar Wilde yang mampu menggambarkan secara tepat akan jiwa dari sebuah potret dalam karyanya berjudul ‘The Picture of Dorian Gray’s sebagai berikut:
Every potrait that is painted with feeling is a potrait of the artist, not the sitter. The sitter is merely the accident, the occassion. It is not who is revealed by the painter; it is rather the painter who on the coloured canvas, reveals himself. The reason I will not exhibit this picture is that I am afraid that I have shown it the secred of my own soul.”

Meskipun photo dianggap sebagai hasil kerja kamera yang melibatkan sedikit peran intelektual manusia, pembuatannya telah memenuhi teori penciptaan dalam ranah hukum Hak Cipta yang disebut sebagai konsep ex nihilo nihil fit atau tiada suatupun yang muncul dari ketiadaan. Artinya, suatu Ciptaan tidak mutlak harus murni berasal dari ide yang baru atau novel karena teori novelty tidak diterapkan dalam hukum Hak Cipta sebagaimana diberlakukan secara konsisten dalam perlindungan hak Paten atas suatu penemuan baru atau invensi.

Uniknya, UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta telah menempatkan photo sebagai salah satu Ciptaan di bidang seni (art) yang istimewa dibandingkan dengan Ciptaan lainnya seperti seni lukis, gambar atau lagu. Oleh karenanya, dari sudut hukum hak kekayaan intelektual, pemboikotan dan pelarangan edar buku Madame D’Syuga dinilai sebagai bentuk pengingkaran akan eksistensi photo sebagai karya intelektual manusia yang harusnya bebas dari penghakiman di luar seni dan penilaian etika moral.

Khusus untuk photo diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 UU Hak Cipta yang intinya menegaskan bahwa photo atau potret (terutama potret diri seseorang) bersifat personal. Keistimewaan lainnya adalah photo atau potret memiliki dua jiwa, yaitu jiwa dari orang yang dipohoto dan jiwa dari orang yang membuat photo tersebut. Oleh karena itu, UU Hak Cipta Indonesia membuat pemisahan antara hak kebendaan atau chattel rights atas photo ada pada orang yang diphoto, sedangkan Hak Cipta dianugrahkan pada sang pelukis atau photographer.

Pemilik photo berhak hak untuk mempertunjukkan potret atau photo tersebut di depan umum, memperbanyak potret dalam satu katalog atau mempublikasikan Ciptaan potret tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari Pencipta atau sang photografer. Sedangkan photographer selaku pemegang Hak Cipta tidak memiliki hak eksklusif mutlak atas perbanyakan dan publikasi photo tersebut seperti pemegang Hak Cipta atas Ciptaan lainnya yang memiliki hak eksklusif absolut atas Ciptaannya. Hak eksklusif dari photographer  untuk memperbanyak atau mempublikasi photo ciptaannya harus disinkronisasikan dengan kemauan atau izin dari orang yang diphoto.

Namun demikian, kewenangan penuh dari pemilik photo atau potret untuk memperbanyak atau mempublikasikan photo dirinya tanpa izin photographer tidak boleh melanggar Hak Moral dari si photografer dan karena itu nama photographer sebagai Pencipta photo senantiasa wajib dicantumkan. Si empunya photo juga memiliki kewajiban untuk memelihara Hak Moral si photografer lainnya yaitu right of integrity dan right of attribution yang memberi hak personal pada photographer untuk tetap memelihara keutuhan dari photo tersebut. Artinya, si empunya photo tidak berhak untuk merubah, memodifikasi atau meniadakan bagian-bagian tertentu dari photo tersebut.  Hal ini merupakan prinsip yang berlaku dalam teori penciptaan bahwa setiap Ciptaan adalah sempurna dan hanya Pencipta yang berhak melakukan editing maupun merubah suatu Ciptaannya. Photo tersebut adalah belahan jiwa dari sang photographer meskipun photo tersebut milik orang lain dan meskipun photographer tidak berkuasa penuh atas ciptaannya.

Meskipun digolongkan sebagai genus yang spesial dari suatu Ciptaan, keberadaan dan peredaran suatu photo kerap disamakan dengan Ciptaan lainnya seperti buku atau film. Jika publikasi suatu photo berisi pesan visual yang “berbahaya” bagi masyarakat, maka layak edarnya harus diatur dengan peraturan tersendiri. Layak edar suatu buku, Film atau photo sudah diatur di Indonesia sejak tahun 1963 dengan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum. Salah satu alasan untuk dilarang diedarkan di Indonesia adalah jika publikasi tersebut dapat merusak akhlak dan memajukan percabulan atau pornografi. Pelarangan edar buku Madame D’Syuga yang berisi photo-photo Ratna Sari Dewi tersebut berpedoman pada peraturan ini seakan-akan buku Madame D’Syuga digolongkan sebagai pornografi yang dapat merusak akhlak bangsa dan menyinggung harga diri perempuan Indonesia.

Sedangkan putusan Pengadilan dalam kasus photo Madame D’Syuga yang menghukum Redaksi Majalah What’s On Indonesia tidak ada sangkut pautnya dengan larangan edar atas buku tersebut di Indonesia. Putusan tersebut mempertegas kembali prinsip yang diatur dalam UU Hak Cipta tentang photo sebagai suatu genus istimewa dari Ciptaan yang mengandung 2(dua) jenis hak yang pelaksanaannya harus disinkronisasikan satu sama lainnya. Majalah What’s On Indonesia tidak berhak mempublikasikan photo diri Ratna Sari Dewi tanpa izin khusus dari Ratna Sari Dewi, meskipun Redaksi telah mencantumkan sumber dari photo. Penyebutan sumber dari photo saja tidak cukup untuk menghindari pelanggaran Hak Cipta. Terlebih lagi bahwa publikasi photo-photo tersebut tidak dalam konteks pemberitaan dan kalaupun menyangkut pada pemberitaan, tentunya bukan photo syuur dari buku Madame D’Syuga yang dipublikasikan.
******
           

Minggu, 05 Juni 2011

Menerjemahkan Hak Moral Pencipta



Pernahkah anda begitu bersemangat membeli sebuah buku terjemahan karya seorang penulis terkenal, akan tetapi setelah membaca karya terjemahan tersebut anda merasa kecewa dan berpikir, ” Wah...ternyata karya pengarang ini gak sehebat beritanya!”?

Perjalan spiritual saya ke Toko Buku Gramedia pada suatu senja berinai hujan di bulan April 2011 silam mempertemukan saya dengan sebuah buku terjemahan karya Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Love in The Time of Cholera. Terdorong oleh beberapa kajian sastra tentang karya Marquez yang pernah saya baca berikut dorongan memory dari film dengan judul yang sama yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi sebulan yang silam, saya memutuskan untuk membeli novel terjemahan dari Love In The Time of Cholera diterjemahkan menjadi Cinta Sepanjang Derita Kolera.

Terus terang, judul terjemahan tersebut sedikit mengganggu selera membaca saya. Perasaan terganggu berlanjut lebih intens lagi ketika saya mulai membaca halaman pertama. Ada beberapa paragraph terkesan diterjemahkan words by words sehingga menjadi kalimat tanpa jiwa dan kering. Ahirnya, saya berhenti membaca karya terjemahan tersebut, lalu  karya terjemahan tersebut saya simpan di laci bersama-sama dengan buku-buku lain yang tidak ingin saya baca kembali. Singkatnya, dengan membaca beberapa lembar saja, saya tidak menemukan kehebatan dari karya Gabriel Garcia Marquez dari terjemahan buku tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan gambaran di film yang sudah saya lihat sebelumnya.

Kadang-kadang, membaca karya asli dalam bahasa Inggris lebih terasa nikmat daripada membaca karya terjemahan ke bahasa Indonesia. Saya memiliki terjemahan dari karya Vincent Mahieu, seorang penulis sastra Belanda berjudul Tjis dan Tjus yang diterjemahkan oleh H.B Jassin menjadi Cis dan Cus pada tahun 1976. Begitu piawainya H.B Jassin menerjemahkan buku tersebut ke bahasa Indonesia sehingga terjemahan karya Vincent Mahieu mengalir indah dan enak dibaca. Saya juga memiliki koleksi buku terjemahan dari berbagai bahasa seperti Spanyol, bahasa Jepang, bahasa China atau Russia yang enak dibaca seperti karya Eiji Yoshikawa dalam Musahsi atau karya terjemahan maha karya penulis sastra terkenal dunia lainnya seperti Guy de Maupassant, Anton P.Chekov, Lao Hsiang, Nikolai Gogol dan sebagainya yang dengan tepat menggambarkan ciri khas kehebatan bertutur dari para sastrawan tersebut.

Pergaulan saya dengan karya terjemahan dimulai sejak kecil, ketika saya membaca terjemahan buku-buku karya Enid Blyton, Laura Inggals dan Frances Hodgson Burnett. Setelah dewasa dan saya mampu membaca dalam versi bahasa Inggris, saya mendapati sensasi yang sama dengan ketika membaca karya terjemahan dalam bahasa Indonesia dan saya dapat merasakan kehebatan bertutur penulis-penulis tersebut. Siapakah penerjemahnya? Saya bahkan tidak pernah ingat! Dalam karya terjemahan, ternyata si penerjemah kerap dilupakan oleh pembacanya karena judul buku terjemahan tetap menggunakan nama penulis yang asli. Namun ini menjadi bukti kuat, suatu  prima facie tak terbantahkan dari suatu karya terjemahan yang berhasil. Mengapa? Karena  dalam karya terjemahan yang berhasil, pembaca memperoleh sensasi yang sama dengan ketika membaca versi bahasa penulis aslinya, seolah-olah sang penerjemah dengan penulis asli novel tersebut adalah orang yang sama, hanya saja dia menceritakan kembali isi novel tersebut dengan bahasa yang berbeda.

Sesungguhnya, itulah hakekat dari karya terjemahan. Si perjemah harus dapat menceritakan ulang suatu karya orang lain dalam bahasa yang berbeda tanpa penambahan atau pengurangan yang merubah alur dan esensi cerita atau merubah ciri khas gaya bercerita si penulis asli. Dalam karya terjemahan, si penerjemah adalah the re-story teller yang berada di belakang si penulis cerita asli dan bukan si penulis cerita itu sendiri. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai suatu Ciptaan baru yang dilindungi oleh Hak Cipta sebagai reward pada karya intelektual penerjemah dalam menceritakan kembali.

Dalam bisnis penerbitan, karya terjemahan dianggap penting dilakukan sesuai dengan porsinya tanpa merubah suatu karya yang diterjemahkan. Konsep ini merupakan harga mati, suatu dalil yang tidak bisa disimpangi,  karena sesungguhnya Penerbit  menjual Ciptaan yang dimiliki oleh 2(dua) Pemegang Hak Cipta yaitu Pencipta penulis asli dan Pencipta karya terjemahan. Karena itu perlu adanya tanda authorized translate yang dicantumkan dalam karya terjemahan sebagai bentuk tanggungjawab Penerbit bahwa pihak yang telah mendapat izin resmi dari Penulis asli (the Author) untuk menjaga kesamaan mutu terjemahan dengan karya aslinya. Tanda hak untuk menerjemahkan tersebut, misalnya, dapat kita temui dalam  terjemahan buku berjudul Around The World in 80 Dinners oleh Cheryl dan Bill Jamison sebagai berikut:
Indonesian translation rights arranged through the Doe Coover Agency, Winchester, Massachussetts, USA.
Dengan adanya tanda tersebut, terjalin hubungan hukum antara penerjemah atau penerbit dengan pemegang hak cipta atas buku tersebut yang mengandung makna bahwa penerjemah berhak memperbanyak suatu Ciptaan dalam bahasa yang berbeda dan bertanggungjawab terhadap mutu terjemahan serta menjaga Hak Moral Pencipta buku aslinya.

Dari sudut UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, suatu terjemahan digolongkan sebagai Ciptaan yang baru yang dilindungi Hak Cipta dan memiliki keistimewaan sebagai berikut:
Ø  Karya terjemahan (Translated Work) dalam ranah Hak Cipta adalah karya turunan (Derivative Work) dari karya asli yang juga dilindungi Hak Cipta. Dalam suatu karya terjemahan terjadilah proses konsepsi Hak Cipta melahirkan Hak Cipta. Suatu terjemahan secara hukum dianggap sebagai karya baru dan Hak Cipta terjemahan ada pada penerjemah

Meskipun disebut sebagai karya baru yang dilindungi Hak Cipta, suatu karya terjemahan tetap memiliki koneksi yang abadi dan tak terputuskan dengan Penulis karya yang asli. Koneksi abadi tersebut secara tegas diatur oleh Pasal 24 UU Hak Cipta yang mengatur tentang Hak Moral Pencipta.
Ø  Koneksi antara penulis karya yang asli dengan karya terjemahan dalam versi bahasa yang berbeda tidak boleh diputuskan oleh siapapun meskipun Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh pihak lain karena pengalihan Hak Cipta dengan jual beli ataupun karena hibah maupun warisan.
Ø  Koneksi penulis karya yang asli dengan karyanya diwujudkan dalam pengakuan akan Hak Moral Pencipta dengan cara mencantumkan nama penulis dan judul karya yang asli dalam karya terjemahan.

Meskipun karya terjemahan digolongkan sebagai karya baru, namun karya terjemahan  bukan merupakan versi baru (new version), parodi atau jiplakan dari karya yang diterjemahkan. Karya terjemahan adalah suatu perbanyakan dari karya asli dalam bentuk bahasa yang berbeda. Dalam karya terjemahan, yang berbeda hanya bahasanya dan bukan ceritanya. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai karya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi karena dibutuhkan keahlian, upaya dan kreativitas dalam menerjemahkan suatu karya penulis lain tanpa merubah, menambah atau mengurangi substansi dari karya aslinya.

Disisi lain dibutuhkan kepekaan dan kesadaran dari penerjemah bahwa ia tidak membuat suatu karya versinya sendiri akan tetapi ia hanya berusaha menceritakan kembali suatu karya dalam bahasa yang berbeda. Seorang penerjemah must be humble, harus memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk tidak menonjolkan dirinya dalam karya terjemahannya akan tetapi menonjolkan si empunya cerita yaitu penulis asli. Karena sesungguhnya menerjemahkan suatu karya penulis lain adalah sama dengan menerjemahkan Hak Moral Pencipta karya yang asli dalam karya terjemahannya. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Cipta yang menganugerahkan Hak Cipta terjemahan atas kepiawaian penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya dalam bahasa yang berbeda tanpa mengubah esensi karya yang asli dan tidak menciderai reputasi penulis yang asli.

Suatu terjemahan yang dilakukan tidak professional dan melangkahi akidah dan etika menerjemahkan akan mencederai Hak Moral Pencipta karya yang asli. Karena itu, terjemahan yang tidak professional yang telah menambah, mengubah atau meniadakan beberapa bagian dari karya asli dapat melanggar Hak Moral Pencipta. Berdasarkan Pasal 55 jo Pasal 58 UU Hak Cipta, pelanggaran Hak Moral dapat dituntut secara perdata maupun pidana dan UU Hak Cipta memberi hak persona standi in judicio bagi penulis atau ahli warisnya untuk menggugat manakala Ciptaan penulis asli dicederai dengan berbagai cara dan modus operandi seperti:
Ø  Tidak mencantumkan nama Pencipta dalam karya terjemahan.
Ø  Menjual nama Pencipta dengan cara mencantumkan nama Pencipta pada karya orang lain.
Ø  Merubah, menambah, menghilangkan sebagian Ciptaan atau merusak  Ciptaan Pencipta tanpa izin.
Sedangkan ancaman pidana pelanggaran Hak Moral diatur dalam Pasal 72 ayat (6) UU Hak Cipta yaitu pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda maksimum 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah).
******

Kamis, 26 Mei 2011


Menajamkan Taji Komisi Yudisial

Benny K Harman, Ketua Komisi IIIDPR RI dalam rapat Panja RUU Komisi Yudisial yang dilakukan pada tanggal 26 Mei 2011 mengusulkan agar Komisi Yudisial bisa langsung menjatuhkan sanski kepada para hakim Pengadilan Negeri dan hakim tinggi (tingkat banding). Sedangkan untuk hakim angung, dilakukan melalui prosedur Majelis Kehormatan Hakim. Alasannya sangat sederhana, “Biar kewenangan Komisi Yudisial lebih tajam.”
Ironisnya hampir seluruh fraksi di Panja RUU Komisi Yudisial menyetujui 'ide cemerlang 'Benny K Harman ini dan hanya Fraksi Kebangkitan Bangsa yang tidak setuju akan tetapi karena perbedaan perlakuan terhadap hakim agung dengan hakim tingkat pertama dan banding tersebut. Ide ini tentunya akan mengubah substansi dari Pasal 22D dan 22E RUU Komisi Yudisial yang mengatur bahwa penjatuhan sanksi kepada hakim pelanggar kode etik diusulkan kepada Mahkamah Agung.
Kalau kita cermati kembali UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan dibandingkan dengan RUU Perubahan UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, jelas sekali ada perubahan-perubahan yang mendasar yang telah memberi kewenangan yang lebih besar dan kemandirian bertindak bagi Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya melakukan pengawasan terhadap perilaku para hakim di Indonesia.
RUU Komisi Yudisial merubah Pasal 20 dengan mempertegas 2(dua) jenis pengawasan yang dilakukan  oleh Komisi Yudisial yaitu: (1) Menjaga kehormatan hakim dengan cara merekomendasikan promosi dan mutasi hakim dan meningkatkan pendidikan kepada para hakim dan (2) Menegakkan kehormatan hakim. Tugas menjaga kehormatan hakim akan dilaksanakan dengan cara berkordinasi dengan Mahkamah Agung. Namun tugas menegakkan kehormatan hakim mutlak berada ditangan Komisi Yudisial tanpa berkordinasi dengan Mahkamah Agung. Adapun tugas menegakkan kehormatan hakim meliputi:
1)      Pengawasan terhadap perilaku hakim
2)      Memeriksa dan menyimpulkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Kemandirian Komisi Yudisial untuk melakukan tugas menegakkan kehormatan hakim ini diperkuat pula dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 RUU Komisi Yudisial yang menegaskan bahwa pengaduan terhadap pelanggaran kode etik hakim tersebut berasal dari masyarakat dan Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya. Pasal 20 dengan 22 RUU Komisi Yudisial bersinerji menyingkirkan peran Mahkamah Agung dalam mengawasi perilaku para hakim. Bahkan Mahkamah Agung maupun badan peradilan lainnya dimungkinkan untuk melaporkan hakim yang melanggar kode etik kepada Komisi Yudisial! Sedangkan pemeriksaan terhadap hakim yang dilaporkan dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial tanpa melibatkan Mahkamah Agung.  
Jika RUU Komisi Yudisial ini disetujui dan ‘ide cemerlang’ dari Benny K Harman juga diadopsi dimana Komisi Yudisial memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanski langsung kepada hakim yang telah melanggar kode etik, maka Komisi Yudisial benar-benar menjadi lembaga pengawas utama bagi hakim-hakim di Indonesia. Dominasi sebagai lembaga pengawas hakim ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan jika Komisi Yudisial tidak mencampuradukkan pengawasan ekseternal dengan pengawasan internal yang merupakan wewenang mutlak dari Mahkamah Agung. Namun ada indikasi bahwa Komisi Yudisal masih belum cukup terlatih untuk membedakan mana prilaku hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim dengan tugas hakim dalam mengadili suatu perkara.
Dalam laporan ahir periode Komisi Yudisial disebutkan bahwa kendala tugas pengawasan adalah karena Mahkamah Agung belum sepenuhnya koperatif dengan Komisi Yudisial dan adanya perbedaan sikap antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang penerapan Kode Etik yang telah disusun bersama. Komisi Yudisial dalam laporannya juga menyampaikan alibi mengapa Komisi Yudisal menggunakan putusan hakim sebagai entry untuk melakukan pemeriksaan atas laporan masyarakat dengan alasan bahwa laporan masyarakat pada umumnya berkisar tentang putusan dengan dugaan adanya:
1)      Manipulasi fakta
2)      Melanggar hukum acara
3)      Membuat pertimbangan hukum yang telah menguntungkan salah satu pihak
Jika kita cermati lebih lanjut alasan-alasan tersebut, jelas bahwa hal tersebut masuk dalam ranah hukum acara dan bukan sikap atau perilaku yang melanggar kode etik. Tentang fakta yang ditemui di persidangan adalah wewenang judex facti,  jadi jika Komisi Yudisial melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim yang menyangkut fakta-fakta, artinya Komisi Yudisal telah memeriksa kembali keterangan saksi-saksi yang didengar berikut barang bukti yang dihadirkan dan melakukan struktur ulang fakta-fakta tersebut. Jika ini terjadi, perbuatan tersebut tentunya telah merubah suatu putusan dan terjadi tindakan mengadili kembali. Padahal, Komisi Yudisal tidak memiliki kewenangan mengadili atau mengadili kembali suatu perkara.
Jika ternyata ada laporan hakim telah melanggar hukum acara, tentunya hal tersebut diperiksa dari Berita Acara Persidangan. Hukum acara yang mana yang dilanggar? Jika misalnya hukum acara yang dilanggar adalah persidangan yang harusnya tertutup dilakukan terbuka atau sebaliknya, apakah Komisi Yudisial berwenang memerintahkan agar perkara diperiksa kembali? Jika Komisi Yudisial memeriksa dan mengaudit pertimbangan hukum dalam suatu putusan untuk melihat adanya pelanggaran kode etik, apakah perbuatan tersebut tidak sama dengan mengadili kembali?
Hal-hal ini kembali membawa kita pada perenungan: benarkah Komisi Yudisial beritikad baik untuk menjaga kehormatan hakim dan menegakkan kehormatan hakim? Jika benar demikian, haruskah putusan hakim dijadikan wadah untuk memeriksa ada tidaknya pelanggaran kode etik? Tidakkah tindakan Komisi Yudisial yang ahir-ahir ini mengaudit putusan Antasari dengan memanggil dan mendengar saksi-saksi untuk memeriksa laporan bahwa hakim tidak memeriksa dan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut umum sebagai salah satu demonstrasi sempurna bahwa Komisi Yudisial sendiri telah melanggar etika hukum dan hukum acara yang menunjukkan bahwa Komisi Yudisial seolah-olah haus akan kekuasaan untuk mengadili putusan-putusan yang dilaporkan?
 Jika fenomena perilaku Komisi Yudisial ini dibenarkan, maka penerapan teori kekuasaan Montesque yang seyogyanya mengidealkan separation of power benar-benar diterapkan menjadi bagi-bagi kekuasaan di Indonesia. Semoga saja kebijakan Komisi Yudisal ini nantinya tidak menghapuskan upaya hukum banding dan kasasi ke tingkat peradilan yang lebih tinggi. Atau mungkin nantinya masyarakat pencari keadilan memiliki opsi: banding atau kasasi ke Komisi Yudisial jika tidak percaya pada badan peradilan. Dalam praktek sistem bagi-bagi kekuasaan, semuanya bisa mungkin terjadi!

Rabu, 25 Mei 2011

Menerjemahkan Hak Moral Pencipta

Pernahkah anda begitu bersemangat membeli sebuah buku terjemahan karya seorang penulis terkenal, akan tetapi setelah membaca karya terjemahan tersebut anda merasa kecewa dan berpikir, ” Wah...ternyata karya pengarang ini gak sehebat beritanya!”?
Perjalan spiritual saya ke Toko Buku Gramedia pada suatu senja berinai hujan di bulan April 2011 silam mempertemukan saya dengan sebuah buku terjemahan karya Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Love in The Time of Cholera. Terdorong oleh beberapa kajian sastra tentang karya Marquez yang pernah saya baca berikut dorongan memory dari film dengan judul yang sama yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi sebulan yang silam, saya memutuskan untuk membeli novel terjemahan dari Love In The Time of Cholera diterjemahkan menjadi Cinta Sepanjang Derita Kolera.
Terus terang, judul terjemahan tersebut sedikit mengganggu selera membaca saya. Perasaan terganggu berlanjut lebih intens lagi ketika saya mulai membaca halaman pertama. Ada beberapa paragraph terkesan diterjemahkan words by words sehingga menjadi kalimat tanpa jiwa dan kering. Ahirnya, saya berhenti membaca karya terjemahan tersebut, lalu  karya terjemahan tersebut saya simpan di laci bersama-sama dengan buku-buku lain yang tidak ingin saya baca kembali. Singkatnya, dengan membaca beberapa lembar saja, saya tidak menemukan kehebatan dari karya Gabriel Garcia Marquez dari terjemahan buku tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan gambaran di film yang sudah saya lihat sebelumnya.
Kadang-kadang, membaca karya asli dalam bahasa Inggris lebih terasa nikmat daripada membaca karya terjemahan ke bahasa Indonesia. Saya memiliki terjemahan dari karya Vincent Mahieu, seorang penulis sastra Belanda berjudul Tjis dan Tjus yang diterjemahkan oleh H.B Jassin menjadi Cis dan Cus pada tahun 1976. Begitu piawainya H.B Jassin menerjemahkan buku tersebut ke bahasa Indonesia sehingga terjemahan karya Vincent Mahieu mengalir indah dan enak dibaca. Saya juga memiliki koleksi buku terjemahan dari berbagai bahasa seperti Spanyol, bahasa Jepang, bahasa China atau Russia yang enak dibaca seperti karya Eiji Yoshikawa dalam Musahsi atau karya terjemahan maha karya penulis sastra terkenal dunia lainnya seperti Guy de Maupassant, Anton P.Chekov, Lao Hsiang, Nikolai Gogol dan sebagainya yang dengan tepat menggambarkan ciri khas kehebatan bertutur dari para sastrawan tersebut.
Pergaulan saya dengan karya terjemahan dimulai sejak kecil, ketika saya membaca terjemahan buku-buku karya Enid Blyton, Laura Inggals dan Frances Hodgson Burnett. Setelah dewasa dan saya mampu membaca dalam versi bahasa Inggris, saya mendapati sensasi yang sama dengan ketika membaca karya terjemahan dalam bahasa Indonesia dan saya dapat merasakan kehebatan bertutur penulis-penulis tersebut. Siapakah penerjemahnya? Saya bahkan tidak pernah ingat! Dalam karya terjemahan, ternyata si penerjemah kerap dilupakan oleh pembacanya karena judul buku terjemahan tetap menggunakan nama penulis yang asli. Namun ini menjadi bukti kuat, suatu  prima facie tak terbantahkan dari suatu karya terjemahan yang berhasil. Mengapa? Karena  dalam karya terjemahan yang berhasil, pembaca memperoleh sensasi yang sama dengan ketika membaca versi bahasa penulis aslinya, seolah-olah sang penerjemah dengan penulis asli novel tersebut adalah orang yang sama, hanya saja dia menceritakan kembali isi novel tersebut dengan bahasa yang berbeda.
Sesungguhnya, itulah hakekat dari karya terjemahan. Si perjemah harus dapat menceritakan ulang suatu karya orang lain dalam bahasa yang berbeda tanpa penambahan atau pengurangan yang merubah alur dan esensi cerita atau merubah ciri khas gaya bercerita si penulis asli. Dalam karya terjemahan, si penerjemah adalah the re-story teller yang berada di belakang si penulis cerita asli dan bukan si penulis cerita itu sendiri. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai suatu Ciptaan baru yang dilindungi oleh Hak Cipta sebagai reward pada karya intelektual penerjemah dalam menceritakan kembali.
Dalam bisnis penerbitan, karya terjemahan dianggap penting dilakukan sesuai dengan porsinya tanpa merubah suatu karya yang diterjemahkan. Konsep ini merupakan harga mati, suatu dalil yang tidak bisa disimpangi,  karena sesungguhnya Penerbit  menjual Ciptaan yang dimiliki oleh 2(dua) Pemegang Hak Cipta yaitu Pencipta penulis asli dan Pencipta karya terjemahan. Karena itu perlu adanya tanda authorized translate yang dicantumkan dalam karya terjemahan sebagai bentuk tanggungjawab Penerbit bahwa pihak yang telah mendapat izin resmi dari Penulis asli (the Author) untuk menjaga kesamaan mutu terjemahan dengan karya aslinya. Tanda hak untuk menerjemahkan tersebut, misalnya, dapat kita temui dalam  terjemahan buku berjudul Around The World in 80 Dinners oleh Cheryl dan Bill Jamison sebagai berikut:
Indonesian translation rights arranged through the Doe Coover Agency, Winchester, Massachussetts, USA.
Dengan adanya tanda tersebut, terjalin hubungan hukum antara penerjemah atau penerbit dengan pemegang hak cipta atas buku tersebut yang mengandung makna bahwa penerjemah berhak memperbanyak suatu Ciptaan dalam bahasa yang berbeda dan bertanggungjawab terhadap mutu terjemahan serta menjaga Hak Moral Pencipta buku aslinya.
Dari sudut UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, suatu terjemahan digolongkan sebagai Ciptaan yang baru yang dilindungi Hak Cipta dan memiliki keistimewaan sebagai berikut:
Ø  Karya terjemahan (Translated Work) dalam ranah Hak Cipta adalah karya turunan (Derivative Work) dari karya asli yang juga dilindungi Hak Cipta. Dalam suatu karya terjemahan terjadilah proses konsepsi Hak Cipta melahirkan Hak Cipta. Suatu terjemahan secara hukum dianggap sebagai karya baru dan Hak Cipta terjemahan ada pada penerjemah.
Ø  Meskipun disebut sebagai karya baru yang dilindungi Hak Cipta, suatu karya terjemahan tetap memiliki koneksi yang abadi dan tak terputuskan dengan Penulis karya yang asli. Koneksi abadi tersebut secara tegas diatur oleh Pasal 24 UU Hak Cipta yang mengatur tentang Hak Moral Pencipta.
Ø  Koneksi antara penulis karya yang asli dengan karya terjemahan dalam versi bahasa yang berbeda tidak boleh diputuskan oleh siapapun meskipun Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh pihak lain karena pengalihan Hak Cipta dengan jual beli ataupun karena hibah maupun warisan.
Ø  Koneksi penulis karya yang asli dengan karyanya diwujudkan dalam pengakuan akan Hak Moral Pencipta dengan cara mencantumkan nama penulis dan judul karya yang asli dalam karya terjemahan.

Meskipun karya terjemahan digolongkan sebagai karya baru, namun karya terjemahan  bukan merupakan versi baru (new version), parodi atau jiplakan dari karya yang diterjemahkan. Karya terjemahan adalah suatu perbanyakan dari karya asli dalam bentuk bahasa yang berbeda. Dalam karya terjemahan, yang berbeda hanya bahasanya dan bukan ceritanya. Oleh karena itu, karya terjemahan digolongkan sebagai karya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi karena dibutuhkan keahlian, upaya dan kreativitas dalam menerjemahkan suatu karya penulis lain tanpa merubah, menambah atau mengurangi substansi dari karya aslinya.
Disisi lain dibutuhkan kepekaan dan kesadaran dari penerjemah bahwa ia tidak membuat suatu karya versinya sendiri akan tetapi ia hanya berusaha menceritakan kembali suatu karya dalam bahasa yang berbeda. Seorang penerjemah must be humble, harus memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk tidak menonjolkan dirinya dalam karya terjemahannya akan tetapi menonjolkan si empunya cerita yaitu penulis asli. Karena sesungguhnya menerjemahkan suatu karya penulis lain adalah sama dengan menerjemahkan Hak Moral Pencipta karya yang asli dalam karya terjemahannya. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Cipta yang menganugerahkan Hak Cipta terjemahan atas kepiawaian penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya dalam bahasa yang berbeda tanpa mengubah esensi karya yang asli dan tidak menciderai reputasi penulis yang asli.
Suatu terjemahan yang dilakukan tidak professional dan melangkahi akidah dan etika menerjemahkan akan mencederai Hak Moral Pencipta karya yang asli. Karena itu, terjemahan yang tidak professional yang telah menambah, mengubah atau meniadakan beberapa bagian dari karya asli dapat melanggar Hak Moral Pencipta. Berdasarkan Pasal 55 jo Pasal 58 UU Hak Cipta, pelanggaran Hak Moral dapat dituntut secara perdata maupun pidana dan UU Hak Cipta memberi hak persona standi in judicio bagi penulis atau ahli warisnya untuk menggugat manakala Ciptaan penulis asli dicederai dengan berbagai cara dan modus operandi seperti:
Ø  Tidak mencantumkan nama Pencipta dalam karya terjemahan.
Ø  Menjual nama Pencipta dengan cara mencantumkan nama Pencipta pada karya orang lain.
Ø  Merubah, menambah, menghilangkan sebagian Ciptaan atau merusak  Ciptaan Pencipta tanpa izin.
Sedangkan ancaman pidana pelanggaran Hak Moral diatur dalam Pasal 72 ayat (6) UU Hak Cipta yaitu pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda maksimum 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah).
******

Rabu, 20 April 2011

Coffee Morning Dengan Kartini (Part I)

Kami sudah membuat janji untuk bertemu hari ini, di sebuah lobby hotel tua di kotaku yang terkenal dengan bangunan bergaya Art Deco. Pagi itu serasa lebih cerah dari biasanya meskipun awan kelabu berarak ke ufuk timur menutup cahaya matahari, menandai efek badai La Nina masih akan mengirimkan paket-paket hujan dan badai ke negeriku.

Ternyata dia sudah menungguku.
Duduk tenang seperti patung Budha tengah bermeditasi dipojok timur lobby, diantara dua buah pot berwarna putih dengan tanaman bougenville berwarna merah magenta. Ketika kakiku melangkah masuk ke dalam lobby tersebut, sosoknya kelihatan sebagai silluet yang kontras dengan merah meriahnya bougenville tersebut. Hhhmm...dari cara duduknya dan tempat yang dipilihnya, pastilah dia memiliki selera tersendiri dalam hal apapun, pikirku.
Ketika bertemu dengannya, aku merasa kaget melihat penampilannya. Betapa tidak, aku berusaha menghargai dirinya untuk pertemuan coffee morning ini dan sengaja mengenakan kebaya tradisionil. Karena tidak menyukai kebaya berbahan kain brokat prancis (yang dianggap menyimbolkan keglamoran), aku memilih memakai kebaya dari bahan katun warna white broken dengan bordiran kreasi anak bangsa dari Tanggulangin-Surabaya. Sedangkan padanannya adalah sarung batik jambi bernuansa merah cabai dengan motif durian pecah. Yang mungkin mewakili era modern adalah  sepatu pump  berwarna merah  yang aku pakai karena aku tidak memiliki kelom.
Tapi tampilan Kartini  jauh berbeda dengan photo-photonya yang aku lihat selama ini, yang mengenakan  kebaya klasik khas Jawa Tengah tempat ia berasal dengan jarik batik yang serba lawasan. Pagi ini  ia mengenakan kebaya modern dari batik Cirebon motif buketan berwarna cerah dipadukan dengan celana jeans biru denim! Aku melihat tasnya yang terletak diatas kursi disamping kirinya model etnik terbuat dari bahan batik Cirebon motif mega mendung warna merah saga berpadu biru cerah dan ia memakai sepatu high heels bertali berwarna kulit....Alamak!! Potongan rambutnya juga sangat modern. Jelas rambutnya tersebut di highlight dengan semir rambut berwarna burgundi dan dia buat sanggul kecil gaya french twist. Make up nya sempurna, tidak menor akan tetapi cukup elegan untuk menutupi garis-garis usia pada wajahnya. Yang lebih mengagetkannku, dihadapannya terbuka sebuah lap top mini teranyar berwarna merah, semerah bunga-bunga bougenville itu, semerah lipstick yang dipakainya dengan tulisan Ferrari dan didekatnya ada sebuah blackberry dengan cover berbalut taburan kristal swarosky. Lebih heboh lagi, ia mencat kukunya dengan warna biru indigo dan ada lukisan bunga-bunga yang blink-blink ditiap kuku tersebut.
Aku menarik nafas, ragu sejenak.
Apakah dia ini Kartini yang berjanji untuk coffee morning denganku pagi ini? Atau aku mendapati perempuan yang salah-error in persona?. Aku membuang pandanganku keseluruh lobby, mencari sosok Kartini yang aku bayangkan dan yang hanya ku kenal dari photo-photo yang ada padaku. Tapi pagi itu, lobby hotel masih sepi. Hanya ada kami berdua dan seorang laki-laki keturunan asing di dekat jendela yang asyik menikmati sinar matahari yang temaram sembari membaca koran. Melihat keraguanku, dia berdiri sembari menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri:
"Namaku Kartini. Kita berjanji jumpa ditempat ini, bukan?"
Aku tersipu, merasa lega dan menyambut uluran tangannya dan memperkenalkan diri.
Begitulah caranya aku bertemu dan berkenalan dengan Kartini untuk pertama kalinya, pada suatu pagi 21 April disebuah lobby hotel tua di kota kelahiranku.
 *****
Pertemuan kami hari itu tidak didesain hanya untuk sekedar minum kopi dan makan camilan ringan. Rencananya kami akan membicarakan tentang karya Kartini yang spektakuler berjudul: MENGGUGAT  DOMINASI LELAKI yang berisi banyak hal tentang kehidupan perempuan dalam masyarakat Indonesia . Namun tampaknya pembicaraan terjadi tanpa terencana sama sekali. Daftar wawancara yang telah aku persiapkan jauh-jauh hari tidak ada gunanya dan ia juga seakan-akan enggan membicarakan hal-hal yang bersifat masa lalu, padahal pertanyaan-pertanyaan yang akan aku ajukan adalah seputar sepak terjang dan perjuangannya di masa lalu.
"Apa yang kulakukan di masa lalu adalah milik masa lalu. Mengapa kita harus merujuk fenomena yang ada sekarang ke masa lalu? " protesnya lembut.
"Hukum dinamika akan melahirkan pandangan-pandangan baru tentang hakekat perempuan dan perannya dalam masyarakat. Mungkin saja pandangan baru tersebut berangkat dari nilai-nilai lama dan hal itu sah saja karena nilai-nilai dalam masyarakat idealnya bukanlah keabadian akan tetapi nilai yang tunduk pada hukum dinamika."
 
"Setahu saya anda tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hukum dinamika dan perubahan sosial dalam karya anda." kataku bernada mengoreksi.
"Memang tidak saya sebutkan secara terbuka. Karena karya saya yang dulu adalah gugatan saya akan kondisi yang saya alami dulu dan bagaimana saya menyuarakan aspirasi saya untuk merubah keadaan tersebut. Apa yang saya tulis dulu adalah semacam 'keluhan seorang anak perempuan' namun anda bisa lihat dan alami sendiri bukan, bagaimana sebuah keluhan yang sederhana begitu dahsyatnya mampu membuat suatu perubahan yang luar biasa  meskipun memakan waktu yang cukup lama. Karena itu, saya tidak akan membicarakan masa lalu saya dan pikiran saya dengan anda hari ini. Tapi tanyalah saya tentang kekinian yang ada tentang urusan perempuan dan akan saya jawab dari perspektif masa lalu saya." ujarnya bijak.
Saya kelabakan ditantang seperti itu. Terus terang tidak ada persiapan diluar dari daftar pertanyaan, yang sudah dipersiapkan. Sebagai seorang reporter yang belum berpengalaman saya merasa sedikit panik. Kembali saya menatap dirinya from head to toe dan entah mengapa komentar 'dungu' itu keluar dari mulut saya dan terekam dalam recorder saya:
"Tampilan diri anda tidak seperti apa yang tergambar dalam pikiran atau keluhan anda dalam karya anda dulu...Anda tampil tak terduga...is just not like Kartini.."
"Menurut anda, seharusnya Kartini itu bagaimana ?" Ia tertawa, "Tolong jangan menilai jalan pikiran atau nilai-nilai yang dianut oleh seorang wanita dari penampilannya. Terlebih lagi, jangan  pernah dikte penampilan dan isi otak seorang perempuan."
"Tentu saja penampilan seseorang lebih banyak berbicara, apalagi  anda adalah sosok wanita Indonesia yang telah menginspirasi jutaan perempuan di Indonesia untuk mengekspressikan diri dan  tentu saja mereka menjadikan anda sebagai role model diri mereka dari segi apapun." debat saya.
"Inilah kekeliruan berpikir bangsa Indonesia yang saya takutkan akan timbul atas penafsiran dari karya saya tersebut. Seharusnya perempuan di Indonesia menjadi diri mereka sendiri dengan tetap berpijak pada akar budaya mereka, sehingga perempuan Indonesia tidak gamang dengan diri mereka sendiri. Seperti saya, anda lihat kan? Saya menjadi diri saya sendiri, saya menentukan gaya saya sendiri, Saya adalah tuan atas diri saya sendiri. Inilah saya yang sebenarnya. Mengapa perempuan Indonesia mau menjadi kartini-kartini yang dia sendiri tidak mengenalnya secara pribadi dan hanya mengenalnya dari tulisannya belaka?" keluhnya dengan nada tinggi namun tidak mengurangi keanggunan sikapnya.
"Jangan salahkan perempuan Indonesia yang mengidentikkan dirinya dan menyebut diri mereka sebagai  kartini-kartini masa kini. Anda bertanggungjawab moral atas hal tersebut karena anda telah menjadi inspirasi hidup mereka sehingga mereka mengidentifikasikan diri mereka secara massal sebagai kartini-kartini masa kini."
"Di masa lalu, mungkin banyak kartini-kartini seperti saya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa tidak semua perempuan Indonesia berada dibawah dominasi laki-laki. Bagaimana dengan fakta sosial sistem kekerabatan matrelinial di Sumatera Barat yang mendudukkan perempuan sebagai dominator dalam kekerabatan dan pewarisan? Bagaimana dengan saudara saya Tjut Nyak Dhien yang segagah laki-laki mengangkat senjata melawan penjajah Belanda bersama-sama dengan suaminya di daerah Aceh sana? Apakah karena perempuan-perempuan yang bermukim  di bumi svarna dwiva sana lebih manusia daripada perempuan yang tinggal di pulau Jawa? Apakah bagi perempuan di Sumatera Barat atau di Aceh seorang  Kartini begitu berarti dan menginspirasi mereka dalam mencapai impiannya? Terlalu heroik sosok diri saya jika anda katakan mereka juga menjadikan saya sebagai role model mereka. Tentu saja tidak. Demikian pula, sosok Kartini adalah makhluk alien bagi perempuan di pelosok Papua sana, karena bagi mereka perempuan impian adalah sosok yang kuat secara fisik dan arif menyikapi perlakuan laki-laki. Apakah mereka mengenal saya? Apakah saya menjadi inspirasi mereka? Jawablah!" desaknya. Tentu saja saya tidak memiliki argumentasi yang cukup kuat tentang hal itu.
"Memang secara umum, di masa lalu, perempuan terpinggirkan dan disamakan dengan anak-anak dan manula karena begitulah aturan permainan orang dewasa sesuai dengan masanya. dan tempat tinggalnya Perubahanlah yang membuat pola pikir manusia berubah tentang hubungan yang setara dengan sesamanya. Tidak ada lagi seorang Kartini di masa kini. Anda camkan itu. Jangan jadikan Kartini yang nota bene adalah makhluk nostalgia sebagai budaya massal perempuan Indonesia dengan tujuan untuk mengkotak-kotakkan warga negara."
"Anda keliru. Ditengah masyarakat kita hingga kini sangat banyak perempuan-perempuan yang menderita sebagai Kartini, orang yang tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan dirinya karena pembatasan-pembatasan sosial yang ada."
"Tentang ketertinggalan perempuan di zaman ini, saya melihatnya dari perspektif yang berbeda dengan anda. Bukan pembatasan sosial yang membuat perempuan Indonesia tidak dapat mengembangkan dirinya akan tetapi faktor perempuannya sendiri. Pembatasan sosial ada dimana-mana namun setiap orang harus berjuang untuk keluar dari pembatasan sosial tersebut. Jika pembatasan sosial dijadikan kambing hitam atas terpuruknya  nasib perempuan Indonesia bagaimana anda bisa menjelaskan  pada saya bahwa ditengah pembatasan sosial itu ternyata ada saja  perempuan  yang bisa mengembangkan dirinya bahkan mencapai puncak karir setara dengan laki-laki?" Ia memberi tanda 'talk to the hand' yang mengisyaratkan ia tidak tertarik membahas tentang hal tersebut. Saatnya ganti topik pembicaraan tentunya.
"Pernyataan anda ini makin menguatkan adanya dugaan para ahli bahwa dalam diri ada ada ketidak konsistenan cara pikir. Disatu sisi anda mengatakan anda menjadi tuan atas diri anda sendiri, tapi disisi lain anda seperti takut tercerabut dari bawah dominasi kaum laki-laki....maksud saya..anda juga mau dijadikan selir.....maaf!!"
"Fakta itu benar bahwa dalam hidup perkawinan, saya adalah seorang selir! Tapi bukan berarti saya mendukung polygami. Saya hanya menghormati kebiasaan, adat istiadat yang tidak bisa saya ubah. Ada hal-hal dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa kita ubah tapi kita bisa mengubah cara berpikir manusia  dalam menilai sesuatu yang tidak dapat dirobah dalam masyarakat. Kalau anda benar-benar telah membaca buku saya, anda akan tau bahwa makna karya saya tersebut intinya adalah merubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap makhluk perempuan."
"Apakah anda selir yang berbahagia?"

Ia tercenung mendengar pertanyaan saya, lalu membuka lap topnya dan berkata:
"Anda pernah membaca karya Oscar Wilde berjudul 'The Picture of Dorian Gray"? Belum? Baiklah. Dalam novelnya ada pendapat dia yang mengunderestimate kaum  perempuan. Katanya: "Tdak ada perempuan yang jenius. Mereka hanyalah jenis makhluk yang indah. Mereka tidak mempunyai hal penting untuk disampaikan tapi mereka dapat menyampaikan hal remeh temeh dengan cara yang sangat menarik." Saat ini, saya tengah membuat naskah buku saya yang baru tentang kemampuan perempuan bermain dengan kosa kata sebagai suatu kekuatan dan kelebihan lain dari makhluk hidup yang tidak dimiliki oleh kaum lelaki.  Naskah buku tentang kemampuan bermain dengan kosa kata ini saya buat karena terinspirasi oleh kalimat Oscar Wilde tersebut.  Coba anda perhatikan fakta sosial, berapa banyak laki-laki yang takluk kehilangan logika pikirnya dan berlaku idiot hanya karena permainan kosa kata seorang perempuan?"
Saya sedikit mlongo, tidak menduga kalau Kartini yang saya jumpai pagi ini begitu cerdas sekaligus sinis!
Lalu dia melanjutkan, "Jika saya ditanya apakah saya selir yang berbahagia, saya akan memberi jawaban yang sangat menarik dengan bahasa yang indah sehingga laki-laki akan menafsirkan bahwa saya sangat berbahagia.  Kata-kata saya ini akan berpengaruh dalam mereka mengambil tindakan, karena pesan yang mereka tangkap dengan akal sehat otak chimpanse mereka adalah 'PEREMPUAN OKE-OKE SAJA KALAU DIMADU'. Lalu mereka akan berjuang meneruskan agar polygami dilanjutkan di Indonesia karena polygami sesungguhnya membuat wanita berbahagia."
"Bagaimana dengan wanita?" ujar saya kecewa.
"Berbeda dengan laki-laki, wanita tidak akan tertipu dengan manisnya kosa kata, karena wanita tidak hanya dapat mendengar dengan telinganya, tapi juga mendengar dengan hatinya. Seindah atau semanis apapun jawaban saya tentang apakah saya berbahagia sebagai selir, bungkusan kata-kata manis dan indah tidak akan pernah menipu perasaan wanita. Seorang perempuan akan tau bahwa saya sungguh-sungguh tidak berbahagia."

To be continued.....

Selasa, 19 April 2011

SEBELUM DINI HARI

Laki-laki itu duduk tapakur diatas dipan kayu yang sudah hitam mengkilat dimakan waktu di sebuah sel buram berukuran 2 x 1,5 meter. Ia merenung dan menerka-nerka jenis kayu apa gerangan dipan tersebut. Menerka-nerka sudah berapa banyak orang seperti dia yang duduk diatas dipan itu menunggu dini hari tiba? Mungkin ada yang menunggu dengan hati lega dan pasrah. Tapi ada juga yang menunggu dengan perasaan gelisah, takut, marah dan dendam.
 Ia menarik nafas dalam-dalam.Menimbang-nimbang perasaannya sendiri. Apakah ia marah? Apakah ia dendam atau justru merasa lega? Ia tak dapat menjawabnya. Yang pasti ketika sipir penjara menanyakan apa makan malam terahir yang diinginkannya ia menyebutkan tanpa berpikir panjang lagi: “Gulai pakis ”
Sipir penjara menatapnya aneh, seakan-akan ia baru saja minta dihidangkan makanan para sultan. Lima jam kemudian, tepat ketika bayang-bayang sinar matahari yang redup membentuk bayangan memanjang seperti sebuah terali besi di dinding selnya, makanan terahirnya dihidangkan. Sepiring nasi putih yang masih hangat (biasanya selalu dingin dan berkerak. Kadang-kadang kurang tanak atau sedikit basi), sepotong ayam goreng bumbu lengkuas dengan sambal rawit, segelas teh manis hangat dan semangkuk kecil gulai pakis!Kejutan kecil lainnya, kali ini semua makanan ini dihidangkan secara beradab diatas sebuah nampan aluminium tua.
Ia menatap makan malam terahirnya dengan berbagai perasaan. Menatap semangkuk gulai pakis sebagai makanan terahirnya yang terhidang dengan sedikit lebih terhormat dari biasanya membuat hatinya tersentuh perasaan haru. Tatkala ia mulai mencicipi gulai pakis itu, kenangan bertahun-tahun yang lalu menjenguk benaknya...... ketika ia duduk dibalai-balai kayu di depan rumahnya sembari menikmati makan malam ditemani emak dan sayup-sayup terdengar suara debur ombak yang bersahutan dengan suara orang mengaji dari surau tua dikejauhan. Sungguh suatu melodi malam yang religius dan menggugah rasa haru.
Gulai pakis yang terhidang saat ini diberi kuah santan dan rasanya sedikit anyep. (Ah tidak semua orang bisa mengolah tanaman jenis semak-semak itu menjadi gulai yang lezat seperti emak. Ia mahfum benar fakta itu sekarang.) Gulai pakis buatan emaknya tidak berkuah santan tapi emak mengolahnya dengan kelapa muda parut yang digongseng terlebih dahulu, ditambah ikan teri segar yang baru dijaring oleh ayahnya dari laut. Rasanya nikmat luar biasa. Setiap kali emak menggulai pakis untuk makan malam mereka, itu pertanda ada sedikit uang, ada harapan untuk hidup esok.
Ia ingat, gulai pakis bagi dia ketika kecil adalah simbol perayaan menjadi solven lagi. Artinya, seminggu kedepan mereka akan makan nasi sampai ayahnya kembali pulang kerumah dari melaut. Ayahnya bersama seorang abangnya yang masih berumur sepuluh tahun bekerja di sebuah jermal ditengah laut. Kadang-kadang ayah pulang seminggu sekali, tapi si abang sejak dibawa ayah bekerja ke jermal tidak pernah dibawa pulang. Kata ayah, tenaga abang lebih diperlukan daripada tenaga ayah di jermal itu.Waktu itu ia masih berumur tujuh tahun dan ia sangat ingin pergi bersama ayahnya ke jermal. Ia sangat ingin tahu apa yang dikerjakan orang di jermal ditengah laut sana sehingga si abang sangat betah tinggal disana dan tak pernah ikut pulang untuk menikmati gulai pakis lezat buatan emak.
Akan tetapi suatu hari ayahnya pulang dari jermal membawa abang. Ia sangat terkejut melihat kondisi abang yang sangat mengenaskan. Ketika berangkat dengan ayah tujuh bulan yang lalu, tubuh abang cukup berisi. Kulitnya berkilat-kilat sehat dan rambutnya hitam dan lebat. Tapi setelah tujuh bulan bekerja di jermal, tubuh abang tinggal rangka. Kulitnya berkerut-kerut dan penuh kudis bernanah, rambutnya rontok dan kepalanya juga penuh borok. Matanya yang dulu penuh cahaya kini menjadi cekung dan sedih. Ia dan emak tidak sanggup berbicara melihat kondisi abang. Yang paling menyedihkan, sepasang kaki abang yang dulu cekatan memanjat kelapa dan mengambil buahnya setiap kali emak membutuhkan untuk membuat gulai pakis atau gulai kepiting batu, kini kedua kaki itu terkulai layu. Ia melihat ada bekas parut di betis kanan abang. Sepertinya bekas luka bakar yang parah. Emak hanya menangis tersedu-sedu. Ayah duduk resah di dekat jendela sembari menghisap rokok daun nipahnya. Ia sembunyi-sembunyi melihat abang tergolek seperti seonggok jaring ikan yang sobek-sobek diatas dipan. Hari itu, tidak seperti biasanya, emak tidak memasak gulai pakis.
*****

Sejak peristiwa abang kembali dari jermal, emak tidak pernah lagi memasak gulai pakis. Dan ia pun tidak pernah berani meminta meskipun ia sangat menginginkannya.

Ia kembali menyuap gulai pakis kemulutnya bersama nasi. Ia tak menyentuh paha ayam goreng yang dihidangkan. Gulai pakis makanan terahirnya ini tidak memiliki kenikmatan rasa seperti masakan emak, tapi setiap suapannya mampu membawanya kembali kemasa lalu. Setiap suapan gulai pakis mengingatkannya pada mata dalam emaknya yang selalu basah oleh air mata. Sebulan setelah abang pulang ke rumah secara mendadak ayahnya pergi melaut pada tengah malam. Ia dengar suara tangis emaknya memohon dan menggumamkan sesuatu tapi ayah tetap pergi. Kata-kata terahir ayah yang didengarnya dengan jelas adalah,” Manusia wajib membela haknya.”
Ayah tak pernah kembali sejak saat itu.Abang hanya terbaring tak berdaya dan bahkan ia menjadi bisu dan tuli. Setelah ia cukup besar ia baru  mengetahui bahwa abang menjadi cacat karena selama bekerja di jermal ia mengalami malnutrisi akut, mendapat siksaan fisik dan terserang penyakit yang mematikan. Tapi ketika ayah hendak membawanya pulang, Tokeh jermal tidak membenarkan kecuali jika ayah melunasi pinjamannya kepada Tokeh jermal. Emak tidak pernah mau mengatakan kemana ayahnya pergi malam itu, untuk apa ia pergi pada tengah malam buta dan kenapa ia tidak pernah kembali.
 Kepergian ayahnya menjadi misteri gelap dalam kehidupan remajanya. Justru misteri gelap itu terkuak dari cerita-cerita nelayan tua yang sudah tidak lagi melaut yang pekerjaannya hanya memperbaiki jaring di seputar tepi dermaga atau mangkal seharian menghabiskan sisa hidup di kedai mak Zenab. Ternyata, malam itu ayah pergi melakukan perhitungan dengan Tokeh jermal. Tapi ayah hanya seorang sendiri sedangkan Tokeh jermal dikelilingi oleh banyak tukang pukul berpakaian hijau atau loreng-loreng. Menurut cerita-cerita nelayan tua yang dituturkan dari mulut kemulut dengan suara setengah berbisik, ayahnya disandera jadi budak di jermal itu. Bekerja siang malam tanpa istirahat. Jangan-jangan ia sudah mati dan dicampakkan ke laut sana. Siapa tahu?~Sudah bertahun-tahun berlalu. Begitulah ia mencuri-curi dengar setiap kali para nelayan tua membicarakan ayahnya dengan wajah berduka.
Hingga suatu hari, ketika ia sedang bekerja sebagai buruh bangunan proyek sebuah villa ditepi pantai ia melihat seorang lelaki tambun keluar dari sebuah mobil merah dikawal oleh tiga orang lelaki bertubuh kekar dengan tampang menyeramkan. Temannya mengatakan bahwa lelaki tambun dengan wajah berminyak itu adalah yang empunya proyek. Dia tidak hanya kaya raya tapi juga orang kuat di sepanjang pesisir pantai. Polisi dan tentara saja segan dan tunduk padanya karena ia sangat royal dan bermurah hati pada mereka. Bahkan, kononnya tiga lelaki yang mengawalnya tersebut adalah anggota tentara.
“Aku tidak mengenalnya.Tak pernah.” Ujarnya perlahan.
“Bodoh! Semua orang kenal Babah. Jermal terbesar dilaut itu dia yang punya.” Ujar temannya.
“Jermal terbesar dilaut itu dia yang punya.” Kalimat itu tiba-tiba menggema di kepalanya, membentur-bentur otaknya, membuat ia berusaha mengingat-ngingat ayahnya yang sayangnya tak begitu dingatnya wajahnya karena waktu itu ia masih sangat kecil. Sepuluh tahun yang lalu dan sekarang ia sudah tujuh belas tahun. Pagi hari, sebelum berangkat kerja ibu memberinya minuman istimewa dari kelapa muda dicampur dengan gula merah dan perahan jeruk nipis harum. Kata ibunya hari ini ia genap tujuh belas tahun.

Tujuh belas tahun. Sudah sepuluh tahun ayah pergi ke jermal pada tengah malam untuk menjumpai Babah si tokeh jermal dan hingga kini belum kembali.

Tiba-tiba kepalanya serasa sakit luar biasa dan otaknya serasa mendidih.Ia mengangkat palu yang digunakan untuk memecahkan batu. Seperti mimpi ia mendekati Babah yang sedang santai beristirahat dikursi malas membelakanginya dibawah tenda. Sementara ketiga pengawalnya asyik bermain kartu tidak jauh dari Babah.
Seperti mimpi, ia melihat ayah berdiri dikejauhan, melambai tapi ia membuang muka dari ayahnya. Seperti mimpi ia melihat abang tergolek seperti benda mati diatas dipan dan sekelebat bayangan wajah emak yang matanya selalu berkaca-kaca. Sesaat, ia melihat sebuah batu besar dihadapannya, batu karang untuk bangunan villa mewah yang harus dihancurkannya dan untuk itu ia dibayar sepuluh ribu rupiah setiap hari. Ia menghantam dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati. Terdengar jeritan menakutkan, darah hangat memercik wajahnya, otak berwarna putih yang berhamburan lengket ditangannya. Tapi ia terus memecah batu, terus memecah dan memecah hingga sesuatu yang panas menembus kulit pahanya dan ia merasa tiba-tiba capai lalu berhenti.

Koran-koran memberitakan Pengadilan menjatuhkan hukuman mati karena ia membunuh seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani bernama Babah beserta dua orang anggota tentara sahabat Babah yang selama ini sangat berjasa menjaga keamanan disekitar pantai pesisir. Ia masih berumur tujuh belas tahun dan psikiater yang diminta untuk memeriksanya memberi opini bahwa dia baik-baik saja. Sangat waras.
.
*****
Gulai pakisnya telah habis. Yang tinggal hanya paha ayam dan sambal cabai rawit. Ia minum segelas teh manis lalu meminggirkan nampan berisi makanan terahirnya. Hari telah larut. Diluar ia dapat merasakan udara dingin menggigit dan beberapa ekor anjing kampung disekitar penjara itu melolong-lolong sepi. Ia tidak pernah memiliki jam dan tidak tahu jam berapa saat ini. Namun ketika ia mendengar kokok ayam dikejauhan dan gemerincing kunci serta langkah-langkah sepatu lars, ia tahu bahwa dini hari telah tiba. Ia pandang lagi mangkuk kecil berisi sisa kuah gulai pakis, makanan terahir yang dimintanya. Ia tersenyum, mengingat wajah sendu emaknya dan matanya yang selalu berkaca-kaca dan sosok abang yang tubuhnya terus mengecil seiring berjalannya waktu, yang tergolek tak berdaya diatas dipan kayu di beranda rumahnya. Ia ingat kata-kata terahir ayahnya, “Manusia wajib membela haknya.” Kata-kata itu sekarang serasa begitu jelas di telinganya, meskipun ia tidak pernah paham maknanya.
Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika berjalan meninggalkan selnya, melangkah keluar penjara yang dingin pada dini hari. Ia tau, sesuatu sedang menunggunya diluar sana.
Ketika hidup tidak memiliki makna, matipun merupakan hal yang biasa.
Ia tersenyum sendiri mengingat kalimat yang diukirnya di dipan kayu di dalam sel yang ditinggalkannya yang tak kan lagi ia pernah kembali ke situ.